22. Orang ketiga

3.5K 300 19
                                    

Sesak mendera dada ketika harap berujung kecewa.

∞∞∞

Tetes demi setetes air jatuh membasahi bumi, bersamaan bulir bening dari kedua pelupuk mataku. Hawa dingin langsung menusuk kulitku. Kutengadahkan wajah, membiarkan air hujan menamparnya. Mungkin itu mampu mengurangi sesak dalam dadaku.

Namun, otakku terus mengulang kejadian barusan. Rasanya susah sekali menghilangkannya barang sejenak. Kak Gibran datang bukan untuk menjemputku melainkan menemui Bu Melda. Aku kira Nayla mengatakan hal buruk mengenai Kak Gibran sebatas rasa bencinya saja, nyatanya aku terlalu buta karena tertutupi oleh cinta.

“Za, tumben amat lo ngerjain tugas di kampus? Biasanya paling gercep.”

“Hehehe ... Aiza lupa.”

“Nah, makin aneh. Seorang Aiza yang rajin jadi pelupa? Hayooo ngapain aja lo tadi malem? Sampai nggak ngerjain?” todong Nayla bertubi.

Aku menghela napas, memindahkan laptop ke samping. “Akhir-akhir ini pasien di rumah sakit tempat Kak Gibran kerja lagi membludak, dia pulangnya jadi nggak larut malam. Aku nungguin dia semalam suntuk sampai lupa sama tugas. Kasihan ‘kan kalo dia pulang nggak di bukain pintu?”

Nayla menyipitkan matanya, “Lo yakin? Dia lembur sampai malam?”

Aku mengangguk mantap. “Aiza yakin banget. Dalam berumah tangga kepercayaan merupakan salah satu landasan terpentingnya. Ngapai berkomitmen kalo nggak ada rasa percaya satu sama lain. Kasihan Kak Gibran yang kelihatan kecapean banget.”

Nayla menghembuskan napas jengah. Matanya juga berotasi kala mendengarkan curhatanku. Lalu dia meraih bahuku dan menghadapkannya padanya. “Za, gue salut sama rasa percaya lo itu. Cuman terkadang kita perlu waspada. Gue ngomong gini bukan mau nakut-nakutin lo. Gue pengen banget lo bahagia dengan pilihan lo. Dengerin gue, kemarin malam pas ke Mall gue lihat suami lo lagi jalan bareng dosen baru sensian itu.”

Sontak aku menggeleng lalu mundur. “Kamu salah lihat kali. Kak Gibran kerja, kok!”

“Gue harap juga gitu.” Nayla mengangkat bahunya.

“Tapi nggak ada salahnya lo cari tahu,”sambungnya. Aku tidak menanggapinya dan kembali sibuk mengerjakan tugas sebelum jam masuk kelas.

Saat itu aku menganggap bahwa Nayla salah mengenali orang tapi melihat Kak Gibran di sini ... aku mulai bimbang. Apa benar yang Nayla katakan?

“Ya Allah ... tunjukilah kebenaran itu pada hamba. Bersu’udzon itu tidak baik dan hamba sedang berusaha keras menghilangkan rasa itu dari hati hamba.”

Kakiku lemas dan aku jatuh tertunduk. Tanganku terangkat memukul-mukul dada yang kian bertambah sesak. Seolah ada beban ribuan ton yang menghimpotnya. Napasku juga mulai tak teratur karenanya.

“Hujan, luruhkanlah segala gundah dalam hatiku.” Isakanku bersatu dengan hujan. Biarlah hanya aku, hujan dan Allah yang mengetahuinya.

Tiba-tiba air hujan tak lagi kurasa. Sementara suara hujan masih memenuhi gendang telingaku. Membuka mata, ada seseorang di hadapanku. Menaikkan pandangan, kulihat dia memegang payung. Pantas aku tidak kehujanan lagi.

“Aiza sedang apa di sini? Hujan-hujanan pula?” tanyanya khawatir. Lantas aku bangkit, mengusung senyuman menenangkan.

“Aiza ada tugas tadi. Mau pulang eh, malah hujan. Kak Faiz sendiri ngapain di sini?” Ya, orang yang mengkhawatirkanku adalah Kak Faiz. Bahkan dia bukan siapa-siapaku tapi wajahnya begitu cemas melihat keadaanku sekarang, sementara dia mengejarku saja tidak. Sudahlah ...

Imam Rahasiaku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang