Namamu akan selalu ada di setiap doaku. Karena hanya doa yang akan kembali pada pengirimnya.∞∞∞
Sejak peristiwa di kantin beberapa hari lalu, Kak Gibran selalu menyempatkan waktu mengunjungi ruanganku. Seperti saat ini, dia tengah sibuk membuka bungkus makanan yang di belinya. Padahal aku tahu dia baru saja selesai melakukan operasi pada bayi kembar.
“Kak Gibran istirahat aja. Aiza bisa kok makan sendiri, jadi Kakak nggak perlu bawain makanan.”
“Aku melakukannya dengan senang hati. Tidak ada paksaan dan ini menyenangkan.” Kak Gibran menatapku sekilas, senyuman mengembang sempurna di bibirnya.
Aku menggeleng. “Aneh.”
“Apanya yang aneh? Ini namanya romantis.”
“Romantis di saat kritis, apa enaknya.”
“Kritis adalah keadaan gawat di mana ada seorang pasien yang tengah berada di ambang batas antara hidup dan mati. Dalam kondisi itu dokter tidak akan meninggalkan pasiennya, dia terus berjuang untuk menyelamatkannya. Dan selamanya aku tidak ingin menyerah pada hubungan kita.”
Malas mendengarkan teorinya yang berhasil membungkam argumenku. Pandanganku beralih melihat banyaknya bintang bertaburan di langit sana. Indah dan sinarnya selalu menemani cahaya bulan. Keduanya saling melengkapi. Langit malam tidak akan lengkap tanpa bulan dan bintang.
Sayangnya, aku tidak bisa menjadi bintang bagi kesempurnaan cahaya bulan itu. Jarak antara kami terlalu jauh. Kak Gibran membutuhkan seseorang yang mampu mengimbanginya. Bukannya aku, seorang gadis merepotkan.
Seharusnya aku sadar diri. Bulan terlihat indah jika di biarkan pada tempatnya. Cukup menikmati cahayanya dari kejauhan saja. Bukan untuk di miliki yang mana cahayanya bisa mengendap tanpa mampu di nikmati seperti seharusnya.
Terkadang takdir mempertemukan seseorang hanya untuk berkenalan dan saling berinteraksi tapi semua itu tidak mengartikan bahwa dia orang yang tepat bagiku. Banyak kemungkinan di dunia ini, dia hanya baik di jadikan tempat persinggahan bukan pelabuhan terakhir.
“Operasi tadi pasti nguras energi Kakak. Nah, sekarang mendingan Kakak istirahat. Aiza juga belum laper lagi.”
“Ya sudah. Saya nggak akan memaksa kamu. Tapi kalau kamu lapar, jangan di tahan. Minta tolong saya suapin juga boleh.” Mataku sontak melotot kala mendengar kalimat terakhirnya.
Kak Gibran balik memandangku dengan tangan terlipat di dada.“Kenapa matanya gitu? Wajarkan seorang suami memanjakan istrinya? Rasulullah saja selalu bersikap romantis terhadap semua istrinya. Dan kamu istri saya satu-satunya!” Jari telunjuknya menjawil hidungku.
“Iya, iya, Pak Dokter galak. Sekarang pasiennya butuh istirahat.” Kutarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh kemudian berbalik memunggunginya. Secara tersirat aku mengusirnya supaya cepat pergi dan membiarkan aku sendiri.
“Selamat malam!” pamitnya di sertai bunyi pintu berderit setelahnya.
Merasa dia sudah pergi. Kusingkap selimut yang menyelubungi tubuhku. Ada sepercik rasa tak tega ketika mengacuhkannya. Tapi aku tidak boleh lemah dengan terus menahannya bersamaku.
Pintu kembali berderit disusul langkah kaki. Baru saja aku hendak berbalik ke posisi tadi, tapi gagal saat Kak Gibran mendekat lalu tanpa aba-aba mencium keningku. Untungnya aku sempat memejamkan mata sehingga dia tidak tahu kalau aku hanya pura-pura tertidur.
“Jangan pergi. Saya sekarang baru menyadari kalau kamu merupakan bagian terpenting dalam hidup saya. Jika diibaratkan organ tubuh, kamu itu jantung. Setiap detaknya sangat berarti untuk saya. Cepat sembuh dan kembali ceria.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Rahasiaku [END]
Teen FictionBetapa bodohnya manusia, dia menghancurkan masa kini sambil mengkhawatirkan masa depannya. Tapi dia menangis di masa depan dengan mengingat masa lalunya. (Ali bin Abi thalib) *** Dalam benaknya Aiza sudah merancang masa depan indah bersama lelaki ya...