18. Madu dan Racun

3.4K 323 13
                                    

Lebih baik tak usah beri perhatian kalau ujungnya lebih menyakitkan.
∞∞∞

“Ada apa Aiza?” lidahku kelu tak mampu menjawab pertanyaan yang mereka layangkan. Mataku masih setia menutup. Berusaha menghilangkan bayangan darah kental itu dari benakku. Kenapa akhir-akhir ini kejadian demi kejadian membawaku pada trauma yang berusaha sekuat mungkin sedang kuhilangkah?

“Bangun, Nduk.” Sebuah tangan lembut mendekap bahuku. Membawaku pergi dari sini. Setelah kurasakan telah melangkah cukup jauh, barulah perlahan aku membuka mata.

Nduk, duduk dulu. Ibu buatin teh anget. Pasti kamu shock ‘kan akibat kejadian tadi?” Bu Wati mendudukkanku di sofa ruang tamu panti. Aku mengangguk sembari menyunggingkan senyuman kecil.

Aku memang manja tapi aku paling tidak suka membuat orang mengkhawatirkan aku secara berlebihan apalagi merepotkan mereka. Makanya aku manja hanya pada orang terdekat saja. Semenjak kehadiran Rubi, aku mulai sadar agar tidak selalu bergantung pada orang lain. Karena di dunia ini tak ada yang abadi, hanya Allah SWT yang Maha Kekal.

Sedari tadi aku masih terdiam sebelum sebuah suara mengusik ketenanganku. “Aiza? Kenapa kamu teriak seperti tadi?”

Kepalaku mendongak, menatap seorang perempuan yang tak lain adalah dosenku sendiri. Di sampingnya berdiri sosok lelaki yang kucintai. Tapi kali ini dia hanya diam tanpa melakukan apa pun. Seolah-olah tidak mengenalku. Rasanya sakit sekali saat melihat orang yang aku butuhkan untuk menenangkanku di saat seperti ini malah tidak peduli bahkan menganggap aku bagaikan orang asing.

“Tidak ada, Bu. Kalian lanjutkan saja acara kunjungannya. Apa yang menimpa saya bukan hal yang harus di pusingkan oleh orang-orang dewasa seperti kalian.” Kataku sembari memalingkan wajah. Aku tidak ingin mereka mengejekku lagi, jika melihat bendungan air mataku sudah jebol.

“Nduk, diminum dulu tehnya!” Bu Wati datang di waktu yang tepat. Segera kuraih gelas itu kemudian menyeruput isinya cepat. Menghindar dari segala hal yang akan lebih menyakitkan. Sebut saja aku pengecut, tak apa. Ketika kalian berada di posisiku, maka kalian akan tahu bahwa menghindari luka yang lebih dalam terdengar baik, dari pada tetap berupaya tegar dihadapan mereka.

“Bu, Aiza boleh numpang istirahat di panti?” pintaku.

“Tentu boleh. Ibu juga nggak akan biarin kamu pergi dulu sebelum memastikan kondisi kamu benar-benar baik. Ayo!” Bu Wati memapahku menuju kamar Rubi.
Oh, iya! Rubi.

“Bu, tadi saya tinggal Rubi di halaman depan. Saya ke—“

“Biar saya saja yang membawanya kemari!” sela seseorang dari arah belakang.

“Tolong, ya Dokter Gibran. Nanti bawa Rubi menemui Aiza di kamarnya, ya.”

“Baik, Bu.”

Kak Gibran sebenarnya bagaimana perasaaanmu padaku? Saat aku merasa kamu mulai menjauh, sedetik kemudian kamu berubah mendekat. Hatiku bukan sebuah permainan yang bisa kamu permainkan sesuka hati, kak!

*** 

“Bunda!” Rubi datang menyongsong tubuhku. Tubuh mungilnya mendekapku erat. Tak lama kemudian Kak Gibran menyusul.

“Udah baikkan?” tanya Kak Gibran sembari mendekati ranjang.

Aku menatapnya intens. Namun sedetik kemudian aku mengangguk juga. Ternyata aku sudah bersu’udzon padanya. Aku kira dia tidak peduli pada keadaanku. Astagfirullahal’adzim ....

Kak Gibran benar-benar mengkhawatirkanku. “Tidak, Kak. Aiza cuma syok aja. Soalnya di tas ada tikus mati terus d-da ... hufftt ... Aiza phobia sama darah.” Aku menunduk di bagian akhir. Sekarang semakin jelas terlihat bahwa aku masih terlalu kekanakan untuk bersanding dengannya. Sama darah saja takut.

“Nggak papa. Saya tahu phobia itu bukan hal yang kamu inginkan. Nanti saya akan cari kenalan dokter yang bisa membantu kamu sembuh dari semua phobia yang membelenggu kamu sekarang.”

Mataku berbinar. “Beneran, Kak?”

“Iya, jadi persiapkan diri kamu sebaik mungkin untuk menjalani terapinya nanti.”

“Siap, Kak!” buncahan bahagia menyebar dalam dadaku. Hingga membuat pipiku memanas ketika mendapati Kak Gibran mengusap puncak kepalaku dengan sayang. Rubi yang berada di sebelahku mulai memberanikan diri menatap Kak Gibran.

“Om doktel ciapanya Bunda? Kok, lus-lus pala Bunda?” tanya Rubi. Anak itu terlihat penasaran.

Tatapanku kini beralih kembali pada Kak Gibran. Sama seperti Rubi, aku pun menanti jawaban darinya. Apa dia akan berkata jujur atau kah tetap pada kepura-puraanya?

“Om ini—“

“Gibran, ayo pergi! katanya kamu mau ajak aku jalan-jalan!?” panggilan itu memotong ucapan Kak Gibran yang belum terselesaikan. Aku hanya mampu menghela napas panjang.

“Sebentar, saya masih perlu membicarakan sesuatu. Kamu tunggu saya di depan saja!” balas Kak Gibran. Tak lupa senyuman manis dia perlihatkan di akhir sambil beranjak menjauh dariku.

“Jangan lama-lama ntar keburu panas. Oh, iya, Aiza semoga cepat sembuh!” imbuh Bu Melda sebelum keluar kamar menuruti ucapan Kak Gibran.

“Aiza, saya ingin meminta izin untuk menemani Melda jalan-jalan. Dia sudah lam—“

“Silakan. Bukannya Kakak tidak memerlukan izin dari Aiza. Aiza hanya anak kecil yang manja ‘kan bagi Kakak?” kataku berusaha terdengar tegar. Namun tak bisa menampik jika di dalam sana, hatiku terasa remuk redam. Nyatanya kebaikan yang diperlihatkannya, hanyalah sebuah bujuk rayu semata agar aku memperbolehkannya berjalan-jalan dengan Bu Melda. Perempuan yang mungkin saja memiliki pengaruh besar dalam hidupnya.

“Bukan begitu. Melda adalah teman lama saya. Dia hanya memiliki saya, jadi—“

“Lebih baik Kakak cepat pergi. Bu Melda lagi nungguin Kakak.” Setelahnya kupalingkan wajah ke arah berlawanan.

“Aiza, saya minta keridhoan kamu. Sungguh tid—“

“Kakak nggak perlu risau sama keadaan Aiza.” Menarik napas panjang, aku menatapnya dengan sorot sendu menahan tangis. “Jangan memberikan perhatian jika ujungnya Kamu hanya akan memberikan luka yang lebih menyakitkan.”

“Aiza, saya benar-benar tidak bermaksud untuk itu.” Kak Gibran kembali mendekat.

“Sudahlah, Kak. Temui Bu Melda, kasihan dia menunggu lama. Cukup Aiza saja yang merasakan sakitnya penantian yang tak kunjung mendapatkan kejelasan.” Kutarik selimut naik, menatap sekilas ke arahnya lalu berbaring menghadap Rubi.

“Rubi temani Bunda tidur, yuk!” ajakku yang langsung di sambut anggukan Rubi.

“Maaf ...,” kata terakhir yang aku dengar sebelum pintu tertutup.

Air mataku tak dapat kubendung lagi. Rasanya menyakitkan sekali. Kenapa dia memperlakukan aku seperti ini? Seharusnya tidak perlu memberikan perhatian semanis madu kalau akhirnya dia menebarkan racun dalam hatiku.

________

Alhamdulillah, akhirnya bisa up lagi. Syukron masih setia menunggu update-nya dan afwan partnya ini pendek.

Jazakumullah Ya Khair

Imam Rahasiaku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang