5.Patah hati

4.4K 349 1
                                    


Aku seolah lupa. Bahwa ketika hati memutuskan untuk mencintai, maka resikonya adalah patah hati.
∞∞∞

Pukul tiga dinihari, aku termenung di balkon kamar. Setelah menyelesaikan sholat tahajud, mataku enggan terpejam lagi. Menatap lurus ke depan. Mengamati kemerlap bintang di kegelapan malam. Indah. Ciptaan Allah sungguh menakjubkan, kebesarannya yang telah menganugerahkan segala pernak-pernik di muka bumi untuk para khalifahnya.

Senyum mengembang sempurna di bibirku. Menikmati hembusan angin yang menerpa wajah. Menghirup dalam-dalam udara pagi, lalu menghembuskannya keluar. Berharap segala kegelisahan yang ada di hati ikut pergi. Tapi itu tak kunjung terjadi. Lagi dan lagi, pikiranku melayang memikirkan dia yang entah ada dimana.

Sudah seminggu, aku tidak bertemu dengannya. Ingin sekali menyambangi tempat kerjanya, tapi tak kulakukan. Aku masih teramat takut melihat darah yang bercucuran di sana. Terlalu mengerikan, membuatku mengingat kejadian tiga tahun silam. Ketika kecelakaan besar menimpaku, merenggut sebagian besar nyawa orang-orang yang kukenal.

Doa, selalu mengalir kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa. Senjata yang setiap kali aku gunakan kala rindu hadir menyelinap ke dalam hati. Semoga dia di sana dalam keadaan baik dan di jauhkan dari segala mara bahaya.

Membalikkan badan, aku menghela langkah masuk kemudian menutup slidding door. Melihat jam dinding yang menunjukkan pukul setengah empat pagi, aku memutuskan untuk berwudhu. Melanjutkan bacaan Al-Quran sekaligus menghafalkan beberapa jus terakhir. Aku ingin menjadi seorang hafizah.

***

Mata kuliah dengan dua sks telah selesai aku ikuti. Hasna dan Nayla sedang ada rapat BEM sehingga aku sendirian di kantin fakultas ekonomi. Tujuanku sekarang adalah kantin. Menyantap es krim di siang hari yang cukup terik merupakan pilihan yang tepat. Sesampainya di kantin, aku membuka ice box. Mencari es krim bervarian rasa strawberry.

Baru beberapa detik aku mendudukan diri di kursi kantin. Seseorang datang lalu mendudukkan diri di sampingku.

“Assalamulaikum, Aiza? Aku ganggu kamu nggak?”

“Wa-walaikumsalam, Faiz. Nggak kok.” Canggung, aku tidak tahu harus berbuat apa. Tak pernah terlintas di pikiranku, akan bertemu Faiz seorang diri. Biasanya dua temanku selalu ada ketika lelaki jangkung ini datang menemui.

Mengalihkan tatapan pada es krim yang masih tersisa di tangan. Semoga suasanah awkward di antara kami segera hilang.

“Aiza, apa aku boleh jika ingin mendekatkan diri padamu? Kamu tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Tapi jika kamu belum bisa menerima rasa itu, tak apa kita berteman dulu.”

Aku mendongak, berhenti mengaduk es krim yang sudah mencair. Menatap ke arah yang sejajar dengan Faiz. Meskipun tidak boleh saling pandang pada yang bukan mahram. Aku tetap berusaha menghargainya. Walaupun hati sama sekali tak bisa merespon tanggapan tentang penyataan cintanya minggu lalu.

“Bagaimana? Kamu mau?"

Menghembuskan napas—gusar. Akhirnya aku mengangguk, mungkin aku memang tidak bisa membalas cintanya tapi tak ada salahnya jika berteman dengannya. Silaturahmi di antara kami akan terus terjaga.

“Alhamdulillah. Karena sekarang kita teman, aku boleh makan bareng di sini sama kamu?”

Anggukan kembali aku lakukan. Ini kantin, tempat umum dan ramai jadi tidak ada alasan yang bisa kugunakan untuk menolaknya.

***

Menatap bayangan di cermin. Senyumku tersungging lebar. Gamis bunga-bunga dengan khimar panjang berwarna cokelat bermotif. Ba’da Isya Bunda Nai mengundang kami sekeluarga untuk makan malam di rumahnya. Katanya, ada syukuran kecil-kecilan.

Aku sangat antusias mempersiapkan pakaian yang sudah kukenakan. Bunda Nai juga mengatakan bahwa Kak Gibran akan datang. Membuatku semakin tak sabar, ingin melihatnya lagi setelah hari itu. Hari dimana dia menghilang dengan kemarahan yang terpeta jelas di wajahnya.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, sudah waktunya. Bismillah ... aku harus tetap tenang. Jangan terlalu menampakkan kegembiraan menyambut dia pulang. Jika aku berteriak kesenangan, mungkin sampai kapan pun dia tidak akan memandang ke arahku. Serta ansumsinya jika aku masih kekanak-kanakan tidak akan hilang.

Menertralkan degupan jantung yang seperti hendak lepas dari rongganya. Aku melangkah keluar dari kamar, menuju lantai bawah.

“Nggak bisa lebih lama lagi?” baru saja kakiku menginjak lantai bawah. Sindiran nan pedas itu langsung di lontarkan oleh adik bungsuku.

“Jangan mulai. Kakak males debat sama kamu!” ancamku mengingatkan.

“Lagian siapa juga yang mau jadi presiden. Pakai debat-debatan. Cuma gara-gara nungguin Kakak, nanti kita telat kesananya.”

“Nggak usah lebay. Rumah Om Ken itu di sebelah doang! Bukannya di antartika!”

“Ya udah ayok! Katanya nggak mau debat.”

“Baba sama Umma, mana?”

“Nunggu di depan. Makanya, ayok!” Maher menggapai tanganku, lalu menariknya cepat.

Baba dan Umma beranjak berdiri dari kursi teras saat melihat aku dan Maher keluar. Kami pun berjalan beriringan menuju rumah Bunda Nai. Sampai di pelataran rumahnya, terlihat beberapa kerabat dekat di undang. Ada Nenek Marlina beserta keluarga besar lainnya.

Tiba-tiba perasaanku di landa kegugupan. Namun aku tidak dapat mengetahui, kegugupan macam apa yang tengah melandaku? Sebersit rasa khawatir juga hinggapi hati.

“Asslamualaikum!” serentak kami mengucap salam di depan pintu.

“Wa’alaikumsalam. Ayo, masuk!” Bunda Nai menghampiri kami, kemudian menunjukkan kursi di ruang tamu yang masih tersisa.

Sembari menunggu acara di mulai, aku membantu Bunda Nai yang tengah mempersiapkan hidangan untuk acara ini. Beberapa menit berkutat di dapur aku pun kembali melangkah ke arah ruang tamu hendak menyuguhkan makanan pada semuanya.

Di depan pintu penghubunga ruang tamu dan ruang tengah, langkah kakiku melambat. Semua orang tengah serius menatap ke satu titik yang kini sedang berbicara.

“Gibran ingin memohon doa restu pada kalian semua. Bahwa Gibran akan memulai hubungan ke jenjang yang lebih serius dengan dia, Aira Widya Arumi. Gadis yang Gibran pilih sebagai pendamping hid—“

Prang!

Setetes air mata meluncur jatuh dari pelupuk mataku bersamaan dengan piring yang ada di nampan yang kubawa. Tubuhku mematung, mendengar pengakuannya.

“Astagfirullah, Aiza! Kamu kenapa, sayang?” tersadar, aku segera mengusap air mataku yang dengan pongahnya menetes.

“Maaf, Bunda. Tadi tangan Aiza licin, maaf, maaf semuanya. Silakan di lanjutkan, biar Aiza yang membereskan kekacauan ini.”

Aku bersimpuh di lantai marmer yang dingin. Meraih serpihan demi serpihan kaca dari piring yang kujatuhkan tadi. Meskipun tanganku yang bergetar sulit di ajak kompromi.

“Tidak usah. Biar pelayan saja yang membersihkannya,” cegah Bunda Nai. Tapi aku menggeleng dan melanjutkannya.

Lebih baik begini, aku dapat menutupi kesedihanku dari pada aku harus menyaksikan momen kesakitan ini lebih lama lagi. Allah ... maafkan hamba. Hati yang Engkau ciptakan harus merasakan sakit sedalam ini.

“Umma, bantu.” Dengan sigap tangan malaikat tanpa sayapku. Membantuku membersihkan semuanya.

Setelahnya kami kebelakang, membuang serpihan kaca itu pada tempat sampah. Saat hendak berbalik, Umma meraih tanganku lalu berkata. “Menangislah, jika itu dapat membuatmu merasa lebih baik.”

Pertahananku jebol. Aku menangis dalam pelukan Umma. Beliau sangat tahu jika aku mencintai Kak Gibran sejak dulu.

_______

Tbc.

Syukron yang sudah mau membaca.

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen setelah membaca.

Jazakumullah Ya Khair.

Imam Rahasiaku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang