9. Jarak

3.7K 311 17
                                    


Dianggap kasat mata mungkin sudah biasa. Tapi di pandang penuh hina, ternyata sakitnya luar biasa.
∞∞∞

Manusia memang tidak ada yang sempurna. Terkadang orang yang fisiknya sempurna mempunyai kekurangan dalam jiwa. Sebaliknya, fisiknya tidak sempurna tapi memiliki jiwa yang kuat.

Mungkin aku golongan pertama. Dari segi fisik hampir tak ada celah, tapi jiwaku mudah rapuh. Ditimpa masalah sedikit langsung menangis. Cengeng sekali.  Sampai akhirnya aku hanya mampu bersimpuh di hadapan-Nya. Mengeluarkan senjata ampuh penghilang rasa duka yaitu berdoa.

Miris. Sebagai manusia yang di beri kesempurnaan fisik, aku lebih sering mengingat-Nya kala kesedihan melanda. Sedang saat bahagia malah melupa. Pantas kaffarah ini menimpaku. Di atas sajadah, kukeluarkan segala sesak yang menimpa dada.

“Ya Robb, maafkan lah hambamu ini. Ampuni dosa dan kesalahan yang hamba perbuat baik sengaja atau pun tidak. Tiada hal yang luput dari pengamatan-Mu. Hamba mohon tunjukkan lah kebenaran atas segalanya.”

Meraupkan kedua telapak tangan ke wajah. Aku mengakhiri sesi ibadah sunah yang berujung curhatan. Tanpa melepaskan mukena, aku merebahkan diri di atas sajadah. Mencari kenyamanan walau sedetik saja.

***
Pagi harinya, aku bersiap menuju rumah sakit. Rasa bersalah atas kejadian kemarin sore masih membelenggu pikiran serta hatiku. Tak sampai hati jika aku kembali beraktivitas seperti biasa sedang Mbak Aira tengah terbaring tak sadarkan diri di ranjang pesakitan.

Menapaki satu persatu anak tangga, sampailah aku di ruang makan. Sarapan pagi merupakan peraturan wajib seluruh anggota keluarga. Peraturan mutlak yang Baba buat. Baba sangatlah disiplin. Salah satu dari kami melanggar aturannya maka semua yang menanggung akibatnya. Prinsip utamanya, kebersamaan. Keluarga is number one!

Dulu di antara kami berlima pernah ada yang melanggar aturan dari Baba. Lebih tepatnya Maher lah yang berbuat ulah. Dia merengek ingin memakan camilan super pedas. Padahal di larang oleh Baba karena beberapa hari yang lalu lambungnya baru sembuh dari radang. Maher mengindahkan larangan itu dan diam-diam memakan camilan pedas yang di sembunyikan oleh kami semua. Hari berikutnya lambungnya kembali bermasalah. Setelah di selidiki ternyata Maher melanggar aturan Baba.

Baba marah. Kali ini hukuman di limpahkan pada kami semua yang dianggap lalai menjaga Maher. Setelah selesai menjalani hukuman, Baba menjelaskan bahwa beliau memberikan hukuman pada kami bukan karena amarah semata. Tapi beliau ingin mengajarkan artinya kebersamaan dalam persaudaraan pada kami.

Aku bangga dan bersyukur mempunya Baba seperti beliau. Selain baik, penyayang dan tegas. Baba juga keras dan lembut di saat yang bersamaan. Luka anak-anaknya juga lukanya.

Panggilan lembut dari Umma menghentikan acara melamunku. Membalas sapaannya lalu mendaratkan kecupan ringan di kedua pipinya, kemudian aku mendudukkan diri di sampingnya. Melihat sarapan telah terhidang rapi di atas meja makan. Aku sedikit merasa bersalah karena tidak membantu Umma di dapur.

Sepagian tadi aku berkutat dengan tugas kuliah yang hampir terlupakan. Apalagi rasa bersalah karena pulang terlambat kemarin. Menilik tempat duduk yang di tempati Baba, aku menghelas napas lega. Baba sudah tidak ada dan itu artinya aku bisa meluangkan waktu untuk menjenguk Mbak Aira.

“Umma, Baba udah berangkat ke kantor?” tanyaku memastikan. Semoga saja dugaanku benar.

“Iya. Katanya ada Meeting penting pagi ini. Kamu berangkatnya sama Maher aja. Sekalian pastiin sampai dia masuk ke dalam kelas. Umma kapok dapet laporan kalo dia bolos dari para guru.”

“Siap Umma!”

“Satu lagi. Umma minta pulang kuliah kamu langsung pulang. Jangan kelayapan dan bikin kami semua cemas. Kemarin Baba juga kelihatan khawatir banget pas kamu belum pulang. Nggak ada masalah kan kemarin?”

Imam Rahasiaku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang