31. Pergi

4.7K 339 35
                                    

Jika melihatku, membuatmu terluka. Semoga kepergianku membawa bahagia.
∞∞∞

Detik berganti. Tapi kami masih berada di tempat yang sama dengan mata saling menatap. Keheningan menyelimuti kami. Aku menunggu penjelasannya. Mengapa perempuan berpendidikan tinggi sepertinya mampu melakukan hal sekeji itu.

“Ibu nggak takut sama Allah? Membunuh itu dosa, Bu.” Aku lebih dulu bersuara. Karena keengganan Bu Melda terlihat jelas dari sorot matanya.

“Memangnya kamu punya bukti bahwa saya pelakunya?” Bu Melda menampilkan ekspresi datar. Di saat aku telah mengetahui semua kejahatannya, dia tetap terkendali. Hanya smirk yang sempat dia perlihatkan tadi. Pantas saja tidak ada kecurigaan menjurus padanya. Dia begitu ahli memainkan drama.

Kukeluarkan ponsel dari saku. Memperlihatkan foto koran-koran di dalam tasnya. “Ini buktinya. Saya melihat sendiri bahwa Ibu memang sengaja merencakannya.”

“Hahaha ... murid pintar,” katanya sambil melangkah maju. Lalu menyematkan usapan lembut di puncuk kepalaku. “Ternyata benar kata pepatah. Sepandai-pandainya guru, muridnya akan lebih pandai lagi. Tapi sayang ... kamu sudah melewati batas!” tangannya menarik kasar ujung khimarku. Hampir saja terlepas kalau aku tidak sigap menahannya.

“Bu, sadar. Yang Ibu lakuin itu salah. Rasa Ibu ke Kak Gibran bukan lagi cinta tapi obsesi—ah!” Tarikkannya semakit menguat. Sekarang aku dapat melihat matanya menguunuskan tatapan tajam.

“Harusnya kamu yang sadat diri!” bentaknya. “Gara-gara kamu, Gibran melupakan saya! Cewek lemah kayak kalian nggak pantas bersanding sama cowok sesempurna dia. Cuma saya! Saya lah cewek terbaik untuk mendampinginya!”

Tanpa kuduga. Bu Melda mendorong kepalaku. Hingga kepalaku terantuk pohon besar tepat di belakangku. Pusing seketika merambat ke naik. Mengakibatkan pandanganku sedikit kabur. Namun, aku tetap bertahan. Aku ingin segera menyelesaikan masalah ini.

“Gimana rasanya? Sakit? Itu belum seberapa. Ketimbang kamu berada di posisi saya. Susah payah saya menyingkirkan Aira lalu kamu datang mengantikannya? Saya yang berjuang dan kamu menikmatinya!” Luapan emosi Bu Melda memberi aku jeda.

“Kamu harusnya mati saat kebakaran itu. Harusnya kamu mati!”

“Apa? Kebakaran?” Satu langkah kuambil. Memastikan aku tak salah dengar. Tanganku ikut bergerak, memegang lengan Bu Melda. Menguncangnya pelan. Meminta kepastian. “Kebakaran sewaktu SMA Ibu juga penyebabnya? Jawab Bu?”

“Tingkahmu itu memuakkan. Jadi banyak orang membencimu, bukan cuma saya. Dan soal kebakaran itu ... saya sebatas membantu—auw!”

Aku terkejut kala Bu Melda tiba-tiba terjatuh. Belum sempat berekasi, dari arah belakang seseorang mendekat. Membantu Bu Melda berdiri tanpa memedulikan keberadaanku.

“Sshhh ... tanganku.” Rintihan itu keluar dari mulut Bu Melda. Entah drama apalagi yang sedang dia mainkan. Yang jelas punggung berbalut snelli itu tampak sibuk memeriksa keadaan Bu Melda.

Aku hanya diam, terpaku. Tak lama pemiliknya berbalik menatapku.

“Aiza, kamu apakan Melda?” tanyanya menuduh.

Mataku berkaca. Menahan buliran air mata yang siap runtuh. “Kak Gibran salah paham. Aku sama sekali nggak ngelukain Bu Melda. Ak—aku hanya...”

“Apa Aiza? Setelah kamu melukai hati saya, kamu juga ingin melukai sahabat saya? Iya?! Sebenarnya apa masalah kamu? Jika kamu emosi, jangan melampiaskan pada orang lain. Kesalahan itu ada di diri kamu sendiri bukan orang lain!”

“Kak, Aiza nggak ada niat ngelukain siapa pun. Aiza hanya ingin Bu Melda mengatakan kebenarannya sama Kakak. Dia ada sangkut pautnya sama semua kekacauan ini.”

Imam Rahasiaku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang