Setiap perubahan di sertai alasan.
∞∞∞Tatapanku mengarah pada layar 50 in yang tengah menayangkan berita terkini. Namun, pikiranku sama sekali tidak dapat menangkap sepatah kata pun dari tayangan itu. Aku masih pusing memikirkan maksud dari perkataan Kak Gibran tadi siang. Bahkan lima bungkus cup es krim ukuran jumbo tak dapat menjernihkan pikiranku yang ruwet bagai gumpalan benar kusut.
“Kebohongan akan lebih menyakitkan dari pada sebuah kejujuran yang sangat pahit.” Kak Gibran mengucapkan itu dengan sorot tajam dan menusuk padaku. Memangnya apa kesalahanku padanya?
Sejak kepulangan Kak Gibran tiga hari lalu. Baru kali ini dia mengatakan kalimat yang cukup panjang padaku. Namun, tetap saja ekpresinya tak berubah. Malah semakin membuatku takut akan sosoknya. Dingin, tatapan tajam dan tidak ada senyum sama sekali.
Dia ... begitu berbeda dari Kak Gibran yang masih mengenakan seragam putih abu-abu dulu. Kini dia sangat dingin dan tak tersentuh. Apa masih ada harapan untuk menjadi makmumnya? Sedang hubungan kami tak jelas adanya.
“Astagfirullah, Aiza! Kenapa berantakan sekali? Kamu makan es krim sebanyak itu? Kamu mau sakit perut, hah?” lamunanku buyar saat mendengar suara Umma yang tengah memarahiku.
Aku menoleh ke arah Umma dengan cengiran. “Hehehe, maafin Aiza, Umma. Aiza khilaf dan nggak sadar udah habisin es krim segitu.”
Umma menggelengkan kepala, entah beliau geram atau takjub melihat hobi makan es krim ku yang semakin hari bertambah kuat. Aku memang tidak bisa terlepas dari makanan bertekstur lembut, manis nan dingin itu. Ditambah pikiran yang kalut dan ruwet, membuatku tak bisa mengontrol porsi makan.
“Umma, heran sama kamu. Punya hobi makan banyak dari siapa, sih?”
“Umma lupa? Hobi makan Aiza itu nurun dari Umma tahu! Kata Om Alif, dulu waktu Umma ada masalah juga ngelampiasinnya pake makanan, kan?”
Selesai berucap. Umma menatapku penuh pertanyaan, aku balas menatapnya dengan kening berkerut. Dengan tiba-tiba, Umma memegang kedua bahuku.
“Om Alif ngomong apa aja ke kamu?” terlihat raut wajah Umma yang panik. Lucu, aku belum pernah melihat Umma menampilkan raut seperti ini. Kecuali dulu saat aku mengalami insiden mengerikan yang hampir merenggut nyawaku.
“Emm ... apa aja, ya?” gumamku seraya memegang dagu—berpura-pura berpikir.
“Apa aja?” desak Umma lagi.
“Om Alif bilang kalau dulu Umma sama Baba udah suka dari jaman SMA. Terus, Umma yang pernah kerja di toko bunga dan oh iya, restoran Baba yang pertama itu di kasih nama AZMIRA sebagai bukti seberapa besar rasa cinta Baba ke Umma.”“Hah? Maksud kamu apa?”
“Ish, masa Umma nggak tahu. AZMIRA itu gabungan dari nama belakang Umma dan Baba. Azmi dan Az-zahra kan? Baba emang sosweet banget. Aiza juga pengen punya suami kayak Baba.”
“Kamu baru semester dua. Kuliah aja dulu yang bener, jangan mikirin nikah.” Sebuah suara berat memasuki obrolan kami. Menoleh kebelakang, aku melihat Baba memasuki ruang tengah dengan pakaian casual.
“Baba! Kapan pulang? Kok, nggak kasih tahu Aiza kalau mau pulang hari ini?” aku langsung menuju ke arah Baba lalu memeluk lelaki yang amat kucintai itu—erat.
“Kenapa? Mau minta oleh-oleh?”
“Iya, hehehe ...”
“Ba, Maher di bawain oleh-oleh juga nggak?” adik yang selalu tidak mau kalah juga ikut muncul bersama Bang Azka.
“Bang Azka juga ada di sini? Kapan balik, Bang?”
“Tadi, pas azhar.”
Aku hanya mengangguk. Karena pulang agak sorean, aku jadi melewatkan banyak hal. Jarang-jarang kami berkumpul seperti ini. Baba sedang sibuk mengurus bisnis yang sedang di garap bersama pengusaha kaya raya di daerah Sumatera sedang Bang Azka yang masuk jurusan kepolisian memilih tinggal di apartemen miliknya dan dia sangat sibuk sehingga pulang ke rumah hanya beberapa kali saja. Lalu Manav dan Maulana yang berada di pesantren hanya pulang saat liburan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Rahasiaku [END]
Teen FictionBetapa bodohnya manusia, dia menghancurkan masa kini sambil mengkhawatirkan masa depannya. Tapi dia menangis di masa depan dengan mengingat masa lalunya. (Ali bin Abi thalib) *** Dalam benaknya Aiza sudah merancang masa depan indah bersama lelaki ya...