7. Rasa yang tak halal

3.9K 309 0
                                    


Jika dia bukan jodoh hamba, tolong hilangkanlah rasa yang tak halal ini segera, Ya Robb.
∞∞∞

Minggu pagi, aku dikejutkan oleh kedatangan Nayla dan Hasna di depan pintu rumah. Dengan pakaian olahraga lengkap, mereka berdua mengajakku lari pagi di sekitaran taman komplek. Tidak biasanya mereka kompak dalam hal seperti ini. Di tambah lagi rumah mereka dengan rumahku berjarak ratusan kilometer. Dan lagi, olahraga pagi juga bukan rutinitas mereka yang moto-nya sama denganku. Rebahan sepuasnya saat libur.

Seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan. Hasna membeberkan alasan yang mendasarinya ada di sini. “Kita mau cari suasana baru. Gue bosen lari di sekitaran komplek rumah doang. Pemandangannya itu-itu aja. Kalau di dekat rumah lo kan belum pernah. Gue denger-denger taman disini juga bagus dan asri banget. Jadi nggak ada salahnya kan, kita joging ke sini?”

Namun semua itu belum memuaskan rasa yang menganjal di dadaku. Mengenal mereka dari jaman putih abu-abu, membuatku mengenal betul segala gerak gerik mereka. Pasti ada hal yang sangat menarik perhatian mereka. Tatapanku beralih pada Nayla yang asyik memerhatikan lingkungan tempat tinggalku. Nah, dia terlihat sedang mencari sesuatu.

“Beneran alasan kalian cuma itu? Aiza nggak percaya. Pasti ada hal yang pengen kalian cari tahu, kan? Kalian juga bukan orang yang rajin olahraga,” curigaku.

Nayla menghentikan kegiatannya. Dia menatap ke arahku lalu terbitlah cengiran khasnya. Sedang Hasna mengaruki pipinya sambil tersenyum salah tingkah.

“Sebenarnya, ada alasan lain.” Akhirnya Nayla mengakui juga. Benarkan, pasti ada udang di balik bakwan.

“Akting gue kurang meyakinkan, ya?” tanya Hasna kikuk. Sangat, buruk bagi aku yang sudah mengenalnya cukup lama.

Menyilangkan tangan di dada. Aku menatap mereka serius. “Tujuan utama kalian sebenarnya apa?”
Keduanya mendekatiku. Melirik kesekitar sebelum mengemukakan alasan utama keberadaanya di teras rumahku.

“Kemarin aku denger dari senior kalau ada dokter ganteng lulusan Harvard yang tinggal di sekitar sini. Apa beneran ada?” suara Nayla yang terbiasa cempreng di buat sepelan mungkin.

Mendengar itu, otakku langsung memutar mengingat seseorang yang berusaha aku lupakan. Ya Allah, cobaan apa lagi ini? Ketika hamba ingin berusaha melupakannya kenapa ada hal yang memaksa hamba untuk mengingatnya lagi?

Jika aku menyebutkan namanya. Lalu bagaimana caraku bisa melupakannya? Berbohong akan menambah tumpukan dosaku. Menghelas napas kasar, akhirnya aku mengangguk juga.

“Wah ... Benerkan! Aaa ... mana rumahnya?” heboh Nayla. Matanya sudah jelalatan menatap sekitar.

“Iya, dimana? Gue juga mau kenalan. Siapa tahu dia imam yang Allah kasih buat gue!” pekik Hasna tak kalah heboh. Gadis itu bahkan sudah jingkrak-jingkrak tak karuan.

Mereka tak tahu saja. Lelaki yang mereka maksud kemarin sudah melangsungkan lamaran pada sang pujaan hati. Namun aku tidak bisa memberitahu mereka, karena masih proses pengkhitbahan yang memang harus ditutupi. Jika sudah resmi menikah barulah boleh di beritakan kesekitar.

“Sudah lah. Jangan bahas lelaki yang bukan mahram, nggak baik. Lebih baik lanjutkan acara jogingnya. Aiza juga udah pake kaos olahraga,” ajakku mengapit lengan mereka.

“Yah ... nggak asyik lo! Padahal kita udah dandan cantik gini,” Nayla mengibaskan khimar syar'i kuning cerah yang dipakainya.

“Jangan berhias kalau niat kamu hanya untuk menarik lawan jenis. Tabarruj nanti jatuhnya,” peringatku.

“Astagfirullah! Gue khilaf!” Nayla mengurut dadanya, sembari terus beristigfar.

Hasna tersenyum malu saat aku memergokinya yang juga sedang memperbaiki riasannya dicermin kecil. Kepalaku menggeleng. Manusia terutama kaum hawa memang mudah sekali terlena dengan keelokan molekan dunia beserta isinya.

Imam Rahasiaku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang