28. Foto dan isi amplop

3.2K 255 1
                                    


Aku tahu, ujian adalah tanda cinta dari-Mu. Tolong kuatkan lah hatiku dalam menghadapinya.
∞∞∞

Aku terus melangkah menuju kelas, sesekali menengok jam tangan berwarna putih di lengan kiriku. Karena waktu telah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit, yang artinya kelas akan di mulai kurang dari lima menit lagi. Aku tidak ingin terlambat.

Gedung G5 letaknya jauh sekali dari gerbang fakultas. Awalnya aku melangkah tanpa menghiraukan keadaan sekitar. Sebenarnya aku agak heran di jam seperti ini sudah banyak mahasiswa yang datang. Koridor fakultas pun ramai oleh sekumpulan perempuan. Di tambah lagi, cerita yang terus mengalir deras dari bibir mereka. Menambah ramai suasana.

Mulanya aku berpikir mereka berada di mode rajin. Beberapa saat kemudian, langkahku terhenti kala sebuah suara memasuki indera pendengaranku.

“Cih, pakai gamis, jilbab panjang. Eh, kelakuannya ... bicth!”

Deg. Aku berusaha tetap husnuzon. Mungkin yang mereka bicarakan bukan aku. Meski hati kecilku merasakan ada hal janggal. Mengabaikan itu, kembali kupacu langkah menuju kelas.

“Nggak nyangka. Alim luarnya tapi busuk dalamnya.”

“Mainnya ke hotel cuyy!”

Semakin cepat melangkah, semakin keras pula mereka menggunjing. Sampai di depan kelas, aku mendapati sebuah kertas tertempel di depan pintu.

“KAMI TIDAK MAU KELAS INI DI MASUKIN CEWEK SOK ALIM!!!”

Tak hanya tulisan di bawahnya terlampir sebuah foto. Dan, aku mengenali perempuan dalam foto itu. Gamis yang kukenakan kala memenuhi ajakan Hasna. Lalu lelaki di sampingku, Kak Faiz. Astagfirullah ...!!

“Siapa yang memotretnya?” gumamku. Mataku bergerilya menatap semua orang.

Benar. Tatapan yang mereka layangkan itu sangat menusuk. Tatapan sarat akan menghakimi.
“Masih punya muka juga lo dateng ke sini?” seseorang menabrak bahuku cukup kencang.

“Cuih! Yang begini jadi model kampus?” Vika, salah satu teman fakultasku ikut melabrak.

“Gamis panjang, jilbab lebar,” kata Vika lagi sembari menarik ujung khimarku. “Tapi akhlak minus!” lalu dia menghempaskan kasar.

Aku tetap berdiam diri. Bingung menghadapi situasi tak terduga ini. Mau menjelaskan kejadian sebenarnya pun sulit jika tidak ada bukti. Mereka juga terus menyudutkanku. Sampai sudut mataku menangkap sosok Hasna di ujung koridor.

“Hasna!” panggilku. Namun bukannya mendekat Hasna malah semakin menjauh dengan kepala tertunduk. Tidak mau ikut campur.

“Apa? Mau cari bala bantuan?” Fika mendorong bahuku hingga punggungku menghantam pintu.

“Udah ngaku aja! Kalo lo emang murahan!”

“Lagian semua udah kebukti. Mau ngelak gimana lagi, lo?” todong teman Fika.

Tanganku mengepal. Aku menegakkan kepala, memandang mereka. Melawan perlu dilakukan supaya mereka sadar. “Aku memang bukan manusia sempurna. Kesalahan tentu bisa kuperbuat. Terus kalian gimana? Udah paling bener? Nggak punya salah? Semua orang itu punya dosa. Jadi bisa nggak kalian jangan main hakim sendiri?”

Seketika suasana hening. Atmorfir yang memanas berubah sunyi. Seluruh pasang mata menatapku kaget. Iya, ini pertama kalinya aku berani menanggapi argumen mereka. Memilih diam bukan berarti aku terima. Hanya saja aku menghindari adanya masalah.

“Kalo kalian nggak tahu kejadian lengkapnya jangan main hakim sendiri!” dadaku naik turun. Air kata yang sudah berada di pelupuk kutahan. Menangis di depan mereka hanya akan menegaskan bahwa aku lemah.

Imam Rahasiaku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang