"Kamu yakin, aku gak perlu izin sama Mbak Adel dulu?" Sebuah tanya disertai tatapan sangsi. Siku sebelah kanan laki-laki itu bertumpu di atas stir mobil dengan posisi tubuh menyamping, menghadap sepenuhnya pada Fiolyn.
"Gak usah, Mama lagi gak di rumah.."
Adelia jelas ada di rumah, Fiolyn terpaksa bohong karena belum sanggup melihat reaksi dari ibunya jika Hito dengan gamblang meminta izin. Karena itu juga Fiolyn menolak mentah-mentah keinginan Hito yang hendak menjemput langsung ke rumah, dan memilih untuk ketemuan di pinggir jalan dekat pintu masuk bagian belakang perumahan. Lagi pula Fiolyn sendiri masih belum cerita prihal kedekatan dirinya dengan Hito pada Adelia. Yang benar saja sih, baru juga jadian tiga hari masa iya langsung koar-koar begitu. Pikirnya nanti saja kalau sudah sekitar satu atau dua bulan baru memberitahu ibunya. Karena kalau boleh jujur, Fiolyn itu agak trauma menceritakan prihal laki-laki. Takut langsung ditentang lagi seperti dulu ketika dia bercerita sedang dekat dengan Septian.
Fiolyn masih dalam tahap mengumpulkan nyali dulu sebelum berjuang di medan perang, apabila seandainya Adelia juga menentang kedekatannya dengan Hito karena prihal status dan usia.
"Ini aku mau ngajak kamu ke tempat jauh. Masa bawa anak gadis main jauh tapi gak izin dulu sama orangtuanya." Hito menyiratkan keraguan jika dia harus membawa anak perawan tanpa setor muka terlebih dulu.
"Tadi saya udah izin sama Mama."
"Ya, beda dong Neng! tetap aja aku juga harus izin." Dia berkeras.
Wajah gadis itu hanya terbingkai dari arah samping, si empunya masih belum juga berani menoleh.
"Yang penting 'kan saya udah izin, anggap aja izin saya itu sekalian ngewakilin izinnya Bapak."
"Gimana coba izinnya?"
"Gimana apanya?" Kali ini Fiolyn pun menoleh, mempertemukan manik coklatnya dengan si lawan bicara.
Untuk sesaat Hito pun bergeming, membidik riak tenang sepasang netra, mengamati helai bulu mata berhias maskara, pipi tembam bersemu tipis, alisnya alami tanpa pulasan pensil, dan bibir tipis berwarna teraconta. Tujuh detik kekaguman itu terjalin sampai di detik ke delapan Hito mengerjap, lalu menjawab, "Kata-katanya."
"Ya ... ada perlu, mau keluar. Gitu."
"Gak bilang sama siapa keluarnya?"
Fiolyn kembali menoleh ke arah depan, berusaha melarikan tatapan ketika berucap malas, "Bilang kok."
"Sama siapa?"
Hito saat ini sengaja ingin menguarkan aura intimidasi.
"Emang sejauh apa sih tempatnya?"
Suara decak samar terdengar, paham betul pertanyaan barusan adalah sebuah pengalihan. "Sama siapa bilangnya?" Hito mengulang.
"Temen."
"Kenapa bilang sama temen?"
"Terus saya harus bilang sama siapa?"
"Pacar." Diucapkan secara lugas dan penuh tekanan, kentara sekali air mukanya memperlihatkan rasa keberatan. "Aku sekarang pacar kamu. Kenapa harus bohong sama Mbak Adel?"
Sejurus kemudian Fiolyn merasa perutnya melilit mendengar kata 'pacar' yang terlontar dari mulut Hito. Ada rasa geli, ada rasa ngilu. Ada hawa panas yang menjalari sekitar leher hingga wajah. Ada sengatan aneh dibalik degupan yang menggila. Sensasinya menghasilkan desakan ganjil yang memenuhi rongga dada, apakah ini semacam ... butterfly effect?
"Bukannya bohong, saya cuma..." mulut Fiolyn kembali mengatup. Bingung harus menjelaskan bagaimana.
"Cuma gak mau mengakui?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HISTORIA
ChickLitAwal pertama melamar kerja Fiolyn memilih untuk berada di urutan tingkatan terendah karyawan, ya.. Bukan sebagai Office Girl juga. Intinya ia tidak ingin terlalu sering berurusan dengan atasan. Karena menurutnya, semakin tinggi jabatan sebagai kary...