"Udah minta maaf sama bunda?"
Hito yang tengah meraih piring di rak kabinet, menoleh sejenak pada si pemilik suara. Di sebrang meja makan, Razka baru saja menarik kursi untuk duduk dengan tampilan segar habis mandi.
Ini baru pukul tujuh malam, tapi Hito sengaja pulang lebih awal. Ia merasa tak perlu berlama-lama lagi di kantor. Selain karena 'mainan' di tempat kerjanya sudah tidak ada, moodnya juga tengah di landa gempa, hancur, rusak dan berserak. Karena seseorang yang baru saja Razka panggil dengan sebutan Bunda.
"As you wish." suara rendah penuh kebohongan.
Padahal nyatanya pertemuan tadi, selesai dengan perdebatan yang mengambang tanpa ada titik penyelesaian. Sekitar tiga puluh menit lamanya Hito dan Tia berargumen saling keras kepala.
Dan lagi, selama pertemuan tadi tidak ada kata maaf yang sudi Hito lontarkan. Tidak akan pernah. Kalau pun ada yang harus minta maaf, itu berarti, Tia orangnya.
"Tapi, Ayah, gak suka dengan cara kamu begitu." Kembali bersuara sembari memindahkan nasi beserta ayam bakar dari dalam styrofoam.
"Begitu, gimana?"
Lihat, betapa lempeng dan wa-ta-dos-nya bocah itu menanggapi ucapan Hito.
"Jangan pernah jebak Ayah, kayak tadi."
"Aku gak merasa ngejebak Ayah."
Gerakan Hito yang tengah mengisi gelas dengan air putih terhenti sesaat, guna menatap lurus wajah Razka yang teramat mirip dengan Tia. Hanya di beri polesan make-up dan wig rambut panjang saja, niscaya dalam hitungan detik anak ini akan menjadi Tia jilid dua.
Dosa kah, jika Hito memiliki niat ingin melempar Razka kepada dokter bedah pelastik, supaya wajah itu di rombak menjadi 100% mirip dengan dirinya?
"Terus, maksud kamu apa? Ngajak ketemuan tapi gak datang. Sengaja bikin Ayah berduaan sama dia, ya?"
"Bunda," koreksi kesekian kali, "coba baca isi chatnya lebih teliti." Sembari menerima angsuran piring dan gelas berisi air putih dari Hito.
"Kamu bilang, ketemu di kfc jam satu siang."
"Bukan. Aku bilang, 'ketemu bunda di sana.' Pahami, ada kalimat aku ngajak Ayah ketemu di sana, gak?"
Kok Hito sebal, ya, merasa di permainkan begini.
"Kalau aku yang ngajak ketemu, otomatis kalimat yang aku pakai itu, 'aku tunggu Ayah di sana.' Atau, 'kita ketemu di sana.'"
Pintar sekali ngelesnya.
"Kali ini, masih bisa Ayah tolerir. Tapi, nggak ada lain kali." Menunjuk wajah Razka dengan sendok dalam genggaman. Sebagai bentuk peringatan.
Razka hanya mengedik bahu. "Aku gak salah."
"Apa pun pembelaan kamu saat ini, Ayah tetap gak suka."
"Gak suka dengan cara aku, atau gak suka sama Bunda?"
"Makan. Keburu dingin nasinya." Hito mendudukkan diri di kursi, kemudian meraih satu suapan demi melarikan diri dari pertanyaan.
Menghadirkan hela ringan dari sebrang meja, paham betul bahwa sang ayah tidak pernah suka di ajak bicara dalam keadaan mengunyah. Maka dari itu, untuk sesaat Razka membiarkan suasana hening berkuasa hingga lima belas menit lamanya.
Lalu, kembali bersuara ketika Hito hendak berdiri untuk mencuci piring.
"Masih gak mau cerita, alasan kenapa Ayah sama Bunda dulu pisah?" nada suaranya biasa saja, namun membuat dengung telinga Hito terasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
HISTORIA
ChickLitAwal pertama melamar kerja Fiolyn memilih untuk berada di urutan tingkatan terendah karyawan, ya.. Bukan sebagai Office Girl juga. Intinya ia tidak ingin terlalu sering berurusan dengan atasan. Karena menurutnya, semakin tinggi jabatan sebagai kary...