Mall biasanya bukan tempat yang menyenangkan bagi Fiolyn, karena suasana bising dan keramaian itu sering kali membuatnya pusing. Tapi kali ini berbeda, segala hiruk pikuk aktivitas orang lalu lalang di sekitar mall menjadi pemandangan segar dalam pengamatan.
Maklum saja, satu minggu ini dia bagaikan jenis orang nolep yang tidak punya kehidupan. Lebih banyak menghabiskan waktu di sosial media, menonton drama korea, dan membaca.
Mendapati diri ada dalam kesibukan aktivitas orang lain seperti ini, rasanya seolah kembali dalam habitat aslinya. Yaitu, manusia dengan segala bentuk sosialisasi.
Meskipun Fiolyn bukan tipe orang yang suka berinteraksi dengan banyak orang, tetap saja dia juga butuh kehidupan di sekitar agar tetap normal dan waras.
Duduk di salah satu kursi panjang dekat pilar besar, dia menyesap thai tea boba yang baru saja di beli. Menunggu seseorang yang katanya akan tiba dalam waktu sepuluh menit lagi. Tapi nyatanya, ini sudah hampir dua puluh menit berlalu.
Fiolyn merogoh ponsel dalam waist bag, mengecek barangkali ada chat atau telepon masuk, begitu layar ponsel di hidupkan rupanya ada dua panggilan tak terjawab. Segera saja si ibu jari bergulir menekan icon panggilan pada kontak bernama, Artania.
"Dimana?" suara tenor menyentak dari sebrang telepon.
"Dekat pilar."
"Iya, di mana? Aku udah di parkiran."
"Aku duduk di kursi dekat pilar, dari pintu masuk arah parkiran juga kelihatan."
Terdengar suara langkah yang samar, hembusan nafas, dan juga bising keramaian sekitar. Fiolyn masih tetap diam menempelkan benda pipih itu di daun telinga, sembari matanya menatap awas pada pintu masuk berbahan kaca tebal, berjarak sepuluh meter dari tempatnya duduk.
"Di dekat apa?" kembali bertanya setelah lima menit berlalu.
"Dekat pilar, aku pakai t-shirt warna cream dan topi baseball hitam. Di sebelah pilar ada stand chatime."
Setelah mengatakan itu, seorang laki-laki berperawakan tinggi 170cm yang baru saja melewati pintu masuk, terlihat melambai singkat ke arahnya.
Atan mengenakan kaus salur coklat dengan warna dasar putih. Ransel yang tersampir di bahu membuat dia terlihat seperti anak kuliahan, akan tetapi id card yang masih menggantung di leher itu adalah sebuah tanda bahwa dia baru saja pulang bekerja, bukan pulang kuliah.
Dulu Fiolyn juga punya id card seperti itu, tapi sekarang tidak lagi. Karena sudah dia buang di tong sampah.
Sementara itu, kedua alis yang membingkai kelopak mata Atan tampak mengerut seiring langkahnya yang mendekat, menyiratkan sebuah rasa keheranan melihat bagaimana penampilan Fiolyn saat ini.
T-shirt, jeans, topi, waist bag, dan... sepatu kets yang bagian tumitnya sengaja di lipat ke dalam.
Tomboy sekali, pikirnya. Karena semasa kerja yang sering kali Atan lihat adalah sosok Fiolyn dengan kemeja, blouse atau long sleeve, dan lebih sering menggunakan celana bahan atau bagy pants ketimbang jeans.
"Lama banget," gerutunya ketika Atan sudah mengambil duduk di sisi kiri.
Tanpa permisi lelaki itu merebut cup minuman dari tangan Fiolyn, membalik posisi sedotan sebelum menyesap isi yang tersisa. Setelah merasa dahaga di tenggorokan berkurang, dan masih dengan memperhatikan penampilan Fiolyn lelaki itu menjawab, "Tadi anter Sania dulu. Kebetulan searah."
"Sania? Siapa?" menoleh ingin tahu.
"Karyawan baru, yang waktu itu datang bareng si Bos. Pengganti kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
HISTORIA
ChickLitAwal pertama melamar kerja Fiolyn memilih untuk berada di urutan tingkatan terendah karyawan, ya.. Bukan sebagai Office Girl juga. Intinya ia tidak ingin terlalu sering berurusan dengan atasan. Karena menurutnya, semakin tinggi jabatan sebagai kary...