HISTORIA - 23

2K 225 17
                                    

Ruang tengah adalah tempat quality time terbaik untuk Hito dan Razka, setiap hari, setiap saat, dan setiap keduanya ada di rumah, pasti menyempatkan waktu duduk berdua di sofa ruang keluarga atau lesehan di atas karpet, bermain kartu, play station, ular tangga, menggambar doodleart, membantu Razka mengerjakan tugas sekolah, membahas ekstrakurikuler, berdebat apakah Razka perlu daftar di klub karate sekolah atau tidak, dan banyak kegiatan atau pembahasan lainnya yang mereka lakukan di ruang tengah. Hal itu terlihat sangat sepele, tapi begitulah cara sederhana Hito memberikan sisa waktu yang ia miliki untuk menemani Razka.

Seperti malam ini. Hito berbaring selonjor kaki di sofa panjang ruang tengah, atensinya menatap lurus pada sosok Razka di sebrang meja yang duduk lesehan sembari mengerjakan soal matematika.

Acara National Geographic di layar televisi sama sekali tidak menarik minat, karena dia lebih asik menonton Razka.

Sudah hampir satu jam dia seperti itu, sesekali mengulum senyum menanggapi ekspresi Razka yang terkadang mengernyit kecil, mengacak rambut hitam legamnya hingga tak beraturan, menggaruk pelipis, menyangga dahi dengan lengan, dan mulut tipisnya yang komat kamit membaca soal.

Lucu sekali. Hito gemas. Ingin meninju dan memiting leher si bocah.

Enam belas tahun tidak terasa dan rasanya Hito tidak rela melihat Razka terlalu cepat tumbuh remaja. Padahal baru kemarin dirinya mengganti popok bayi laki-laki itu, mendengar tangisan cemprengnya ketika  tengah malam karena haus ingin menyusu. Segala kerepotan di masa lalu saat dia sama sekali tidak mengerti bagaimana caranya merawat bayi kecil nan mungil yang tampak rapuh tidak berdaya, belum bisa melakukan apa-apa. Hito tiba-tiba merindukan masa itu, masa di mana Razka memanggilnya, "Ya.. Ya.." untuk pertama kali saat belajar berbicara, dengan terbata dan penuh tenaga agar suaranya terdengar lantang. Masa ketika Razka belajar berdiri sembari kedua tangan kecilnya saling bertepuk kegirangan, tapi tidak lama tangan itu langsung bertumpu cemas pada lengan besar Hito yang senantiasa stanby di sisi tubuh, mengawasi keseimbangan langkah kaki mungilnya.

Sesak haru merambat tiba-tiba, menjalari rongga nafas, mendesak kerongkongan. Kala memori dalam file yang dia beri nama 'golden age Razka' berkelebat di benak kepala. Memori yang senantiasa ia rawat dan simpan apik dalam setiap keping kenangan.

Kalau ada yang tanya apa penghargaan terbesar dalam hidup Hito, jawabannya adalah; Razka Adipta.

Sebuah penghargaan atas kepercayaan Tuhan pada dirinya untuk merawat dan membesarkan seorang anak. Sendirian.

Bukan mobil mahal, bukan rumah megah, bukan harta, bukan uang, melainkan anak laki-laki yang ia kasihi. Satu-satunya kebanggaan yang Hito punya selama tiga puluh lima tahun dia hidup.

"Ka?" Hito mulai bersuara, dengungnya berbaur dengan volume televisi.

Yang dipanggil hanya diam saja. Matanya tetap fokus pada buku catatan. Sibuk menghitung angka dan rumus.

"Sudah punya pacar belum?" tanyanya iseng.

Tapi masih terabaikan.

"Kalau punya, bawa dong ke rumah. Kenalin sama Ayah."

"Gak ah," Anak itu akhirnya menjawab. "Nanti kalau aku bawa ke rumah, dia malah suka sama Ayah."

Hito tertawa kecil mendengar leluconnya. "Berarti kamu sudah punya pacar?"

"Gak ada."

"Bohong sama orang tua dosa."

"Orang tua yang bohong sama anak juga dosa."

Gosh! Telak sekali kalimatnya. Menukik tajam dengan tikungan curam.

"Yaa, masa kamu gak ada pacar?

HISTORIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang