Setelah acara izin, cuti, serta minggat tanpa keterangan. Fiolyn mau tidak mau harus kembali setor muka di kantor. Karena bagaimana pun juga ia masih terikat dengan sebuah komitmen yang mengharuskan profesional prihal pekerjaan.
Dan kejadian minggatnya kemarin sudah cukup menjadi contoh buruk dimata karyawan lain, tidak ada SP, tidak ada hukuman, tidak ada teguran bukan suatu hal yang pantas dibanggakan.
Karena itu menimbulkan bisik-bisik tetangga. Bagaimana bisa Fiolyn yang sudah melanggar peraturan kerja dibiarkan begitu saja?
Setidaknya untuk beberapa hari kedepan hingga masa waktu yang tertulis dipengajuan surat resign-nya tiba, Fiolyn harus bisa bertahan dengan muka tebal atau muka wa-ta-dos atau muka badak alias pura-pura-gak-terjadi-apa-apa dihadapan rekan kerja yang lain.
Tidak apa pikirnya, tidak apa selama dirinya aman dan kejadian 'malam itu' tidak menyebar atau diketahui siapa pun. Karena itu bukanlah suatu hal yang mudah untuk Fiolyn lalui jika sampai terdengar hingga ke telinga Una.
Dalam lubuk hati terdalam Fiolyn sebenarnya terdapat sebuah rasa takut yang melingkupi serta menekan perasaan dan pikiran. Rasa takut itu bercabang lalu berkembang biak dengan melahirkan rasa-rasa yang lainnya, gelisah, kalut, resah dan cemas. Semuanya campur aduk.
Hhh..
Bagaimana jadinya jika kamu yang tiba-tiba dicumbu oleh orang tidak tahu malu?
Apa yang akan kamu lakukan?
Berteriak memaki? Mutilasi? Atau menendang 'anu'-nya dengan kaki?
Itu pilihan yang lumayan bagus, tapi bodohnya pada saat di TKP Fiolyn sama sekali tak berpikiran kesitu. Yang bisa ia lakukan hanya meludahi tanpa benar-benar meludah. Karena saraf-saraf serta otak kanannya terlalu blank untuk menanggapi situasi.
Di ruangannya, Fiolyn menunduk diam. Menatap layar ponsel yang layarnya sudah menghitam. Ibu jarinya mengusap lembut permukaan benda pipih tersebut, tadi saat ia mengaktifkan ponsel hal pertama yang mendominasi notifikasi adalah pesan whatsapp dari Una. Itulah sebabnya Fiolyn diam untuk menimang, apakah ia harus membalasnya atau tidak.
Diantara kebimbangannya, terdengar seseorang mengetuk pintu tiga kali.
Fiolyn terkesiap, reflek menoleh kearah pintu ruangan yang transparan. Belum ada tiga detik dahinya mengernyit dengan bayangan yang ada dibalik pintu, tiba-tiba sebuah kepala menyembul dengan wajah cengengesan.
"Lagi sibuk?" tanya Nia melontar basa-basi.
"Sangat sibuk."
"Boleh numpang sebentar, gak?"
"Masuk aja," jawab Fiolyn disertai helaan ringan.
Nia masuk, berjalan mendekat kearah meja lalu duduk berhadapan dengan Fiolyn. "Pusing banget di ruangan sebelah, berisik. Aku jadi gak fokus," keluh Nia seraya mengeluarkan tumpukan uang dari dalam amplop coklat yang dibungkus kresek hitam.
"Uang omzet?"
"Iya, nanti sore mau setor."
"Oh. Yang jaga kasir siapa?"
"Ada, si Rudi."
"Emang dia bisa?"
"Bisa, kan, aku ajarin."
Fiolyn tidak menjawab, hanya membalas dengan gumaman singkat.
"Kamu dong, usul sama bos. Minta beliin mesin otomatis untuk hitung uang," usul Nia tiba-tiba.
"Mesin apa?"
"Itu loh, yang kayak di bank. Tinggal masukin uang trus sreettt.." Nia mencoba menggerakkan tangan dan menirukan suara mesin, "...kayak gitu, sudah otomatis. Jadi gak pusing hitung duit selembar satu-satu gini," tunjuknya pada tumpukan uang berwarna merah, biru, kuning, hijau di tengah meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
HISTORIA
ChickLitAwal pertama melamar kerja Fiolyn memilih untuk berada di urutan tingkatan terendah karyawan, ya.. Bukan sebagai Office Girl juga. Intinya ia tidak ingin terlalu sering berurusan dengan atasan. Karena menurutnya, semakin tinggi jabatan sebagai kary...