HISTORIA - 17

2K 238 16
                                    

"Karena memang sudah seharusnya Bapak menyelesaikan apa yang perlu di selesaikan. Dengan cara baik-baik."

Kalimat Fiolyn tadi siang masih terngiang bising di telinga dan benak Hito. Menghadirkan sebuah tekad bulat yang akan ia hadapi pada malam ini. Ya, tidak perlu besok, tidak perlu lusa, tidak perlu menunggu lama bagi Hito untuk menemui Una. Demi mengurai benang kusut yang selama ini terajut di antara keduanya.

Hito akan menyelesaikan semuanya malam ini. Segera. Dan secepat mungkin. Demi memperjuangkan apa yang dia ingin. Gadisnya. Fiolyn Anjani.

Tidak. Jangan berfikir bahwa saat ini dia adalah bajingan berengsek yang tega menyakiti satu wanita demi wanita lainnya. Ayolah, hubungan Hito dan Una itu hanya sebuah ikatan semu. Yang tak pernah Hito anggap sebagai jalinan asmara bertabur rindu.

Hito Adipta dan Unaira Khanza sudah selesai sejak lima tahun lalu. Seharusnya. Di saat perempuan itu memutuskan untuk menikah bersama Rendi. Teman satu komunitas Jeep dengan Hito.

Tapi hingga kini, Hito masih tidak tahu dan tidak mau tahu. Alasan di balik perceraian yang menyebabkan pernikahan Una dan Rendi hanya bertahan satu tahun. Yang jelas saat itu, Una tiba-tiba saja datang dengan penuh rasa permohonan ingin kembali membangun harapan bersama, seperti sediakala. Sebelum dirinya mencampkan Hito yang putus asa.

Sebuah drama yang lucu bukan? Alur cerita seperti itu ternyata benar-benar ada dalam sebuah kisah nyata. Bukan hanya sekedar dongeng semata.

Tiga puluh menit perjalanan. Akhirnya Hito memarkirkan si Rio di sebuah halaman apotek besar dengan papan reklame bertuliskan;

APOTEK DR.ATMODJOE
BUKA 24 JAM

Terletak di sebelah bangunan sepuluh lantai dengan nama yang sama, RSU DR.ATMODJOE.

Pertama kalinya Hito menyambangi Una di tempat perempuan itu bekerja. pada pukul setengah sepuluh malam. Terlalu malam. Tapi Hito tidak perduli.

"Hai." Lambaian tangan Una mengundang Hito untuk segera mendekat begitu ia keluar dari mobil.

Di bagian samping apotek. Si perempuan duduk menunggu di sebuah meja bulat dengan payung pelindung di atasnya, ada empat kursi yang mengelilingi meja. Dan salah satunya sedang di duduki Una.

"Beneran datang, aku kira kamu bohong waktu telepon tadi." Katanya ketika Hito menarik kursi di sebrang meja. Ulasan senyum itu cantik, tapi sayang sudah tidak lagi menarik minat Hito untuk sekedar melempar sanjungan. "Nih, aku tadi beliin caramel macchiato buat kamu." Sembari mengangsurkan cup yang masih mengepulkan aroma lembut dari caramel.

"Gue gak lama."

"Kok gak lama? Yang lama dong. Jarang-jarang kamu telepon ngajak ketemuan gini." Ada desah kecewa dari kalimatnya, "gak kangen sama aku?"

Hito mengernyit dengan semua ocehan Una, "Gue serius."

"Aku juga serius. Kemana aja kamu dari kemarin? Ngehindar terus. Kebiasaan."

"Gue mau lo berhenti." Sepasang netra monolid itu ia tatap lurus dan dalam, "berhenti memperjuangkan hal yang sia-sia, berhenti memaksakan hal yang sama sekali gak ada artinya."

Air muka Una yang semula tenang menjadi keruh seketika, demi tuhan perempuan itu mengumpat dalam hati. Tidak ingin membahas hal sensitif ini. Yang dia harapkan dari ajakan pertemuan Hito adalah permintaan maaf atas sikap laki-laki itu disertai kalimat rindu yang menggebu.

"Kenapa lagi sih? Kita baru ketemu, bisa gak ngomongin hal lain aja. Justru bahasan kamu itu yang sia-sia. Gak ada artinya!"

"Kalau gak di omongin sekarang, mau sampai kapan lo jadi toxic people dalam hidup gue?"

HISTORIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang