"Lo .. nangis?"
Adalah sebuah pertanyaan yang sudah jelas terpampang nyata jawabannya, lelaki itu diam-diam meringis merutuki diri.
Bego!
Hito menunduk barang sejenak kemudian berdiri seraya menghembuskan nafas pelan. "Sori, gue.." Kalimatnya tertelan begitu melihat ekspresi dari si gadis yang bergerak mundur serta membuang pandangan ke arah pintu ruangan yang terbuka. Bersikap defensif dan penuh antisipasi.
Ditatapnya sang gadis lurus-lurus, gadis yang selama ini selalu memporak porandakan hatinya, emosinya, rasa kesalnya, semuanya.
Ya, Hito akui memang hal yang baru saja terjadi cukup kelewatan. Tapi itu semata-mata karena ucapan Fiolyn sendiri yang mengatainya 'sampah' dan 'brengsek'.
Membuat egonya terluka dan hasrat lelakinya bergejolak tidak terima.
"Neng..," panggil Hito dengan suara lirih, mulai di selimuti rasa bersalah. Melihat ekspresi gadis itu seperti kehilangan sesuatu amat berharga yang harus ia jaga sampai mati, membuat suatu dugaan muncul dalam benak Hito. "Jangan bilang lo .. belum pernah-"
"Kembalikan hape saya!" sela Fiolyn menuntut, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Menahan getir yang baru saja lolos dari kerongkongan, ingin rasanya gadis itu segera berlalu dan pergi. Akan tetapi, teringat ponselnya yang masih ada dalam saku celana Hito.
Hito merogoh ponsel Fiolyn tanpa mengalihkan tatapannya sedikit pun, dan ketika ponsel itu lolos dari celah saku. Belum juga Hito mengulurkannya, Fiolyn sudah lebih dulu bergerak, merampasnya seperti ia adalah pencopet atau perampok yang handal.
"Eh-" Hito sedikit terhuyung kebelakang ketika telapak tangan kanan Fiolyn bertumpu didada bidangnya sebagai penyangga tubuh, sementara tangan lain gadis itu merebut ponsel. Untungnya Hito bisa menjaga keseimbangan. Kalau tidak, maka keduanya sudah tersungkur dengan cara yang sangat-sangat-sangat tidak elite.
Meski Fiolyn sedikit terpleset dan belibet dengan ujung karpet, aksinya tetap membuahkan hasil.
"Neng!" seruan Hito menggema begitu Fiolyn lari meninggalkannya yang masih terperagah dengan aksi gadis itu barusan.
Disisi lain, Fiolyn menarik nafas dan menghembuskannya berkali-kali guna mengenyahkan bendungan lahar panas dipelupuk mata yang kini membuat penglihatannya mengabur. Punggung tangannya pengusap kasar sudut mata. Jangan sampai lahar itu turun membahasi pipi.
"Tunggu sebentar!" Hito berhasil mencekal pergelangan tangan Fiolyn ketika menuruni undakan tangga. Dapat Hito rasakan bahwa tubuh itu masih sedikit gemetar.
"Saya mau pulang!"
Fiolyn memutar pergelangan tangan agar terlepas dari cekalan Hito, hal itu mengakibatkan ringisan rasa ngilu dibagian siku karena bekas luka yang ia dapat dari 'drama' jatuhnya di sisi jalan masih sedikit membekas.
"Iya .. gue minta maaf, oke?" bujuknya seraya melonggarkan cekalan. "Gue antar lo pulang."
Emosi sesaat, ego yang tadi sempat membumbung tinggi kini Hito tekan kembali. Teringat akan sebuah pasal yang mengatakan bahwa perempuan tidak pernah salah, maka dari itu se-ter-lu-ka dan se-ter-hi-na pun ia dikatai 'sampah' oleh anak ingusan yang sayangnya ia sayangi ini, Hito mencoba mengalah dan berbaik hati.
Salahnya juga mungkin, pikirnya. Karena terlalu begitu cepat dan terburu-buru untuk berterus terang. Dan untuk masalah ciu-(ehm!) yah.. masalah itu tidak sepenuhnya karena dikatai 'sampah' juga.
Kalau boleh jujur, Hito bersedia menghitung berapa kali ia berfantasi tentang hal itu.
"Gak perlu!" ketus Fiolyn dengan suara sengau.
KAMU SEDANG MEMBACA
HISTORIA
Chick-LitAwal pertama melamar kerja Fiolyn memilih untuk berada di urutan tingkatan terendah karyawan, ya.. Bukan sebagai Office Girl juga. Intinya ia tidak ingin terlalu sering berurusan dengan atasan. Karena menurutnya, semakin tinggi jabatan sebagai kary...