"Aduh!"
Fiolyn reflek menghantamkan paper bag ketika seseorang tiba-tiba merangkulnya dari arah belakang, hantamannya berhasil mengenai dada sebelah kiri si pemuda yang mengenakan kemeja flanel. Membuat pemuda itu mengaduh di sertai ringisan pelan.
"Atan?!"
"Galak banget!" Lelaki yang di panggil Atan menukas seraya mengusap dada.
"Lagian kamu! rangkul-rangkul sembarangan, ngagetin orang aja." Fiolyn meninju pelan lengan Atan, "ngapain disini?"
"Aku mau beli kopi di cafe, tapi pas lagi parkir motor tiba-tiba kayak lihat orang yang aku kenal." Atan mengedikkan dagu ke arah sebrang jalan ketika mengucapkan 'cafe'.
"Oh."
"Kamu mau kemana?"
"Mau ngegym! Ya, mau jahit jeans. Gak lihat, tuh, banernya." Menunjuk baner di atas pintu masuk sebuah kios kecil yang kumuh dan usang. Lalu ia masuk ke dalam kios meninggalkan Atan yang masih cengengesan di belakangnya.
Fiolyn menghampiri bapak tua dengan kaus lusuh serta rambutnya yang sudah memutih di balik meja mesin jahit. Mungkin usianya sekitar lima puluh tahunx kalau dia tidak salah tebak. Bapak itu tampak fokus dengan pergerakan jarum jahit sehingga tidak menyadari kedatangan Fiolyn. Baru setelah Fiolyn berada di jarak terdekat dengan tempatnya, dia mendongak, memperlihatkan nerta sayu serta garis-garis penuaan yang terbingkai kacamata.
"Permisi, Pak," sapa Fiolyn dengan seulas senyum ramah.
Sebenarnya ada dua hal yang Fiolyn rasakan ketika melihat seorang pekerja di usia senja seperti ini. Pertama, ia merasa bangga karena mereka masih kuat dan mampu bekerja keras tanpa meminta-minta atau mengemis seperti sebagian 'lainnya'. Dan yang kedua, Fiolyn merasa iba, bukan karena meremehkan kinerja mereka, tapi karena diusia senja seperti itu sudah seharusnya mereka istirahat, 'kan?
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya tidak kalah ramah. Ia lantas berdiri memperlihatkan punggung yang sedikit bungkuk.
"Saya mau jahit jeans pak." Fiolyn merogoh jeans hitam milik Hito di dalam paper bag.
"Vermak?" tanyanya, lagi.
Fiolyn menggeleng, ia menunjukan dua sobekan pada bagian lutut jeans tersebut. "Di jahit bagian ininya saja."
"Ditambal pakai kain lagi, atau dijahit saja?"
"Gimana bagusnya deh, Pak," jawab Fiolyn sembari menggaruk kepalanya yang tentu saja tidak gatal sama sekali. Hanya sebentuk gerak alami ketika merasa bingung.
Bapak itu mengangguk singkat seraya meraih jeans di tangan Fiolyn, lalu ia kembali bertanya. "Mau di tunggu?"
"Oh, iya. Gak lama, kan, Pak?"
"Enggak." Dia mulai mengganti benang pada mesin jahit. "Lima belas menitan," sambungnya dengan nada khas orang tua.
Fiolyn mengangguk singkat dan hendak berbalik untuk menunggu di kursi luar, namun sosok Atan yang tiba-tiba berada di sampingnya membuat Fiolyn berjengkit kaget. "Kamu ngapain, sih?"
"Aku dari tadi di belakang kamu," ucapnya santai tanpa menoleh ke arah Fiolyn, netranya sibuk menilik sudut-sudut kios.
"Terus, ngapain masih disini? Katanya mau beli kopi."
"Gak jadi, makan bareng, mau? Aku traktir." Kali ini Atan menoleh pada si gadis pemilik wajah bulat serta matanya yang berwarna coklat gelap.
"Boleh deh, ayo." Seraya berjalan keluar kios.
KAMU SEDANG MEMBACA
HISTORIA
ChickLitAwal pertama melamar kerja Fiolyn memilih untuk berada di urutan tingkatan terendah karyawan, ya.. Bukan sebagai Office Girl juga. Intinya ia tidak ingin terlalu sering berurusan dengan atasan. Karena menurutnya, semakin tinggi jabatan sebagai kary...