HISTORIA - 18

2K 257 43
                                    

Hito sampai di rumah ketika alat pengukur waktu hampir menunjukan tengah malam, dan betapa terkejutnya ia mendapati Razka di ruang keluarga. Anak itu bergumul di atas sofa, bermain game di ponsel dengan tv dalam keadaan menyala. Isi dari makanan ringan berhamburan mengotori lantai, remote, stick PS dan juga meja. Empat botol kaleng soda pun ikut bertengger di sana, yang satu menggelinding di bawah kaki sofa.

"Kok berantakan begini?" Hito segera mendekat memunguti serakan chiki dan chips di lantai, kemudian ia masukan kedalam plastik berlogo Indoapril yang terletak begitu saja di kolong meja.

"Kalau habis main sama teman itu langsung bersihin, jangan di biarin kotor begini. Lihat tuh, sampai ngotorin karpet juga. Nanti banyak semut." Omelnya sembari membersihkan kedua telapak tangan dari sisa remah cemilan yang menempel dengan tisu.

"Dengar Ayah ngomong gak?"

'Five seconds till the enemy reaches the battlefield, smash them.'

'You have slain an enemy!'

'Double Kill!'

Hanya suara-suara itu yang menyahuti terguran Hito, sementara Razka diam bergeming, menganggap seolah Hito itu tidak ada.

"Ka?"

Yang di panggil masih bodo amat.

Terhitung sudah tiga minggu sejak pertengkaran Hito dan Tia, selama itu pula Razka menjadi orang yang irit bicara.

Berdiri dari posisi jongkoknya, Hito menghela seakan ingin menunjukkan bahwa ia sungguh lelah. Apa memang mengurus anak laki-laki ketika marah itu lebih sulit ketimbang anak perempuan? Padahal anaknya ini tipikal orang yang jarang marah. Sekalinya marah paling hanya sampai dua atau tiga hari. Tapi ini sudah berminggu-minggu. Berbeda dari biasanya.

Kesal terus tak di acuhkan akhirnya Hito pun merebut ponsel Razka secara paksa, membuat anak itu terduduk seketika.

"Balikin!" Pintanya dengan nada sedikit membentak.

Lihat, wajahnya boleh saja tidak memiliki garis kemiripan dengan Hito. Namun nada bicara, ekspresi, gestur tubuh, caranya menatap, memberi intimidasi. Itu semua sangat Hito sekali.

"Bersihin dulu." Titah Hito dengan nada selembut mungkin, enggan meladeni emosi sang anak.

"Gak! Balikin!" Masih kekeuh, tapi tidak berani merebut ponselnya di genggaman Hito. Hanya sebatas menegadahkan tangan serta memberi ekspresi marah.

Lagi-lagi terdengar helaan dari si Ayah.

"Bersihin dulu, setelah itu Ayah balikin." Kalau saja yang di hadapannya ini bukan Razka Adipta, putranya, kesayangannya. Tidak akan mungkin bisa Hito menahan gejolak gusar yang menekan hati sedari tadi.

"Ck!"

Decak kasar keluar dari mulut Razka sebelum anak itu berdiri, hendak pergi tanpa memperdulikan ponselnya lagi.

"Ka!" Hito memberi sirat peringatan.

Bocah itu menuli.

"Azka!"

Masih tak menghiraukan.

"Razka Adipta!"

Masih tak digubris, Razka tetap melanjutkan langkah menapaki anak tangga pertama. Yang akhirnya membuat Hito terpaksa menyusul bocah itu dengan gerak tumit sedikit cepat. Meraih sikunya kemudian mencengkram bahu Razka, menahannya untuk berhenti agar Hito bisa menyusul, berdiri di anak tangga satu tingkat lebih tinggi dari posisi Razka.

HISTORIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang