Pagi-pagi buta sekali Diandra sudah berkutik di dapur. Ia ingin memasakkan suaminya di hari pertamanya menjadi seorang istri. Ia akan memasak makanan spesial agar suaminya tidak marah kepadanya lagi. Mungkin ia ada salah sehingga membuat suaminya marah besar
Terlihat Samuel berjalan sambil membawa jas putihnya di lengan. Melihat itu, Diandra segera mencuci tangannya dan mengelapnya hingga kering
"Sini mas biar Diandra yang pasangin jas dokter mas"
Samuel memundurkan tubuhnya, menciptakan jarak anatarnya dan Diandra
"Kamu gak perlu menjadi istri baik buat saya. Pernikahan kita hanya di atas kertas"
Tiba-tiba saja Diandra meneteskan air matanya. Ucapan suaminya benar-benar menyakitinya
"Di luar dan orang-orang tahu, kamu memang istri saya. Tapi di dalam rumah ini, dan di hati saya kamu adalah orang asing"
Samuel segera berlalu, namun Diandra menjegahnya
"Mas makan dulu" lirih Diandra meski dengan isakan
Samuel menghampas kasar cekalan tangan Diandra.
Dengan keberanian penuh Diandra memeluk Samuel dari belakang, dan hal itu berhasil menghentikan langkah kaki Samuel
"Kalau mas gak cinta sama Diandra, buat apa mas nikahi Diandra?" Tanya diandra
"Lepaskan saya"
Bukannya melepaskan Diandra malah semakin erat memeluk suaminya
"Saya mau kerja" bentak Samuel.
Dengan refleks Diandra melepaskan pelukannya. Dan tanpa menengok sedikitpun Samuel berlalu
Brakkk
Diandra benar-benar terkejut kala pintu rumah dibanting keras oleh suaminya. Pandangan Diandra tertuju ke meja makan. Semua makanan yang ia masak hari ini, akan sia-sia saja.
Diandra memutuskan untuk mengisi perutnya, ia tak mau membuang makanan itu. Daddynya selalu mengajarkan untuk menghabiskan makanan yang ada dan tidak membuangnya.
Setelah makan, Diandra berfikir keras, harus diapakan sisa makanan ini?
Saat pandangannya mengedar ke peralatan dapur, ia terhenti pada satu benda didalam lemari kaca, sebuah kotak steroform
"Aku bagikan saja ke anak-anak yang kurang mampu di bawah jembatan sana" lirih Diandra
Dengan cepat Diandra segera memasukkan makanan itu, menatanya hingga rapi. Dan semuanya ada 10 kotak nasi yang siap ia bagikan.
"Semoga saja, anak-anak itu suka" batin Diandra tersenyum
Ia segera membawanya keluar
"Nyony mau kemana?"
"Bisa minta tolong anterin saya ke jalan yang di bawah jembatan itu pak?"
"Maaf nyonya, tuan tidak mengizinkan anda keluar rumah"
"Saya tahu pak, kan saya perginya sama bapak, soal suami saya, nanti biar saya yang bicara"
"Baik nyonya, mari"
Diandra masuk kedalam mobil, ia duduk dibelakang. Jika dulu, ia selalu mengendarai mobil ini sendirian. Kini ia harus diantar supir. Belum lagi, semenjak menikah, Samuel melarangnya keluar dari rumah. Dan kunci mobil miliknya dipegang oleh supir pribadi Samuel. Diandra seperti di dalam penjara saja. Namun ini adalah pilihannya, ia harus menjalani apa yang sudah ia pilih. Tanpa menyesali sedikitpun.
"Kita sudah sampai nyonya"
"Tolong bawakan nasinya ya pak, saya akan jalan dulu"
"Baik, hati-hati nyonya"