29. Satu bulan dua.

1.4K 180 76
                                    

Hari ini tanggal satu bulan dua, dan aku mengingat semuanya—terutama perihal hari lahir Langit Biru. Hal-hal yang pernah aku lewati bersama dengan pria itu begitu saja berputar di benak, membuatku semakin merindukan-nya. Tentang satu tahun lalu, kami biasanya menghabiskan malam bersama di halaman belakang rumahnya. Tidak membicarakan apapun termasuk hal sederhana, hanya menatap ke arah jumantara sambil mengangkat kurva seluas samudera.

Hal yang paling aku rindukan dari pria itu adalah kemeja abu-abu sederhana-nya. Masih ingat tentang Langit Biru yang selalu menyukai abu? Katanya, “Seperti hidup saya tanpa Saluna, kelabu.”

Dia pandai berbicara juga menimbulkan luka. Kalimatnya yang lembut seolah menenangkan justru adalah pisau yang telah diasah.

“Ada yang cari, Lun.”

Itu suara Mas Bulan yang tiba-tiba masuk ke kamarku tanpa permisi. Dengan celana selutut dan kaus sederhana yang Ibu beli di pasar pagi. Sepertinya ia baru bangun, terlihat dari matanya yang sayu.

“Siapa, Mas?”
“Samudera.”
“Ngapain?”
“Mau kasih undangan.”
“Siapa yang mau menikah?”

Mas Bulan menghela napas panjang, menatapku agak kesal. “Ya kamu turun dong?”

“Iya, iya.” Aku tertawa kecil sambil berjalan ke arah kamar mandi untuk membasuh muka dan sikat gigi.

Kamar mandi adalah tempat yang tepat untuk berpikir, dan itu adalah fakta yang paling membuatku setuju. Selama hidup di dunia, aku selalu memikirkan berbagai permasalahan di kamar mandi. Entah sedang membersihkan diri atau hanya sekedar buang air.

Dan kali ini, pikiranku tertuju pada Langit. Kira-kira apa yang ia lakukan setelah hubungan kami kandas begitu saja, ya?

“Kak Bintang ...” Nama itu tiba-tiba keluar dari bibir. Netraku menatap pantulan diri di cermin, “kenapa harus orang sebaik Kak Bintang?”

Karena pada kenyataan-nya kita tidak pernah tau apa isi hati orang lain. Tidak banyak orang yang berbuat baik tanpa mengharap imbalan yang setimpal. Dan pada akhirnya tidak ada orang yang dapat kita percaya sebegitunya.

Aku selesai, berjalan pelan untuk menghampiri Kak Samudera yang sedang berbincang dengan Ibu. Sesekali matanya menyipit ketika ada kalimat Ibu yang membuat dirinya tertawa lepas. Dan aku baru menyadari bahwa tawa Kak Samudera begitu manis ketika masuk ke dalam rungu.

“Saluna lama sekali, kasihan Samudera yang menunggu lama.” kata Ibu, menyambut kedatanganku.

Kalimat itu hanya kutanggapi dengan senyum tipis, kemudian mempertemukan pandanganku pada wajah Kak Samudera yang malah mengangkat kurvanya penuh. Dia manis, namun tidak lebih manis dari Langit Biru.

“Yaudah, Ibu ke dalam dulu. Kalau mau pergi, jangan pulang lewat dari jam sembilan.” kata Ibu memperingati. Pandangannya beralih pada Kak Samudera, meminta izin untuk masuk ke dalam pada pria itu.

Setelah Ibu masuk, Kak Samudera langsung menyodorkan satu undangan berwana abu-abu. Lagi-lagi diiringi dengan suaranya yang dalam ia menatap mataku, “Dari Langit.”

Jantungku seperti ingin berhenti berdetak ketika mendengar nama itu disebutkan. Tipikal undangan sederhana yang aku tidak tau apa isinya. Entah undangan untuk pesta kelahiran atau parahnya pesta pernikahan. Aku ... siap. Dan memang harus selalu siap untuk hal apapun yang terjadi. Karena mau marah sekuat apapun, kami sudah tidak ada dalam satu ikatan.

Kotak ingatan di dalam otak-ku terbuka begitu saja, isinya berhamburan yang membuatku ingin menghentikan seluruh yang terjadi di bumi megah ini.

“Undangan ulang tahun.” Akhirnya Kak Samudera membuka suara ketika aku tidak jua mengambil alih undangan di tangannya. “Acaranya dimulai sore ini. Kamu mau ke sana?”

Langit Biru, KDY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang