14. satu hari untuk Langit

1.2K 225 12
                                    

Satu hari bersama duniaku.

"Kalau kamu mencintaiku, berikan duniamu kepadaku."

"Bagaimana bisa memberikan dunia saya ke kamu, kalau dunia saya adalah kamu."

- L A N G I T B I R U -

Pagi sekali, Langit sudah hadir di ruang tamu rumahku dengan outer biru tua miliknya yang aku belikan sebagai hadiah tahun lalu. Ia terkekeh saat pertama kali melihatku datang dari arah dapur. Aku akui kalau wajahku saat ini pasti masih seperti orang yang mengantuk walau aku sudah mandi. Tentu saja itu karena aku mengerjakan tugas yang banyak-nya tidak masuk di akal sampai pukul dua pagi. Dan sekarang baru pukul lima pagi kurang dua puluh menit.

Mataku melihat Langit yang masih terkekeh, tapi kini pandangan-nya jatuh ke ponsel. "Langit, kamu fotoin aku, ya?!" tanyaku curiga.

Dia mengangguk dan masih dengan tawa-nya. "Iya, kamu lucu."

"Udah dari lama, kamunya aja yang nggak sadar." Kataku sambil mengambil jaket yang sudah kusiapkan sejak malam di kursi tamu.

Aku kembali berjalan ke arah dapur untuk meminta izin dengan Ibu kalau akan pergi pagi ini. Walau aku tau Ibu pasti mengizinkan tapi tetap saja harus pamit dulu.

"Ibu, Luna sama Langit pergi dulu ya. Nggak lama, kok. Ibu mau dibawain sarapan apa?" tanyaku pada Ibu yang sedang menyiapkan nasi goreng untuk Mas Bulan.

Ah, aku lupa bercerita. Mas Bulan memutuskan tinggal di Indonesia lagi, setelah bertengkar dengan pikiran-nya sejak seminggu yang lalu. Katanya, sudah tidak ada Ayah jadinya ia yang harus menjaga Ibu juga aku. Tentang pendidikan-nya semua sudah diurus oleh kerabat Ibu yang kebetulan tinggal di Belgia, jadi Mas Bulan hanya perlu berangkat minggu depan untuk mengambil beberapa berkas juga barang yang tertinggal.

Di sini ia akan melanjutkan pendidikan S2 nya di Kampus yang berbeda dengan-ku. Ia juga bekerja di kantornya Kak Johnny yang berdiri dalam bidang Fotografi dan lain sebagainya yang sejujurnya tidak aku mengerti.

"Udah, Ibu nggak usah dibawakan apapun. Nih," Ibu menyodorkan kotak makan berwarna biru langit ke tangan-ku. "isinya roti panggang, untuk bekal kalian."

Aku tertawa, "Ibu, Luna sama Langit nggak pergi jauh. Cuma mau ke Bukit Moko, lihat sunrise." kataku menjelaskan lalu kembali menaruh kotak makan yang diberikan Ibu ke meja makan. Karena aku merasa kami tidak perlu sarapan, tidak memakan waktu lama untuk melihat fajar.

Tapi tiba-tiba Langit mengambil kotak makan yang aku letak-kan di atas meja. "Terimakasih, Bu. Ini pasti roti panggang rasa cokelat atau kacang. Nanti akan saya makan, Bu."

Setelahnya Langit diikuti aku menyalimi tangan Ibu dan langsung segera bergegas ke mobil. Jangan lupakan kotak makan yang diberikan Ibu, karena sebenarnya sampai sekarang berada di pangkuan Langit. Aku juga tidak tau apa motifnya mengemudi mobil dengan memangku kotak makan itu. Padahal ia bisa saja menitipkan-nya kepadaku, atau setidaknya ia letak-kan di atas dashboard.

"Kalau dikasih itu diterima. Mau suka atau tidak, ya terima saja dulu." katanya tiba-tiba yang membuat aku mengalihkan pandang jadi ke arahnya. "Jangan sampai bikin sakit hati orang yang memberikan apapun ke kita."

Aku masih diam, tidak mengerti apa yang menjadi topiknya kali ini. Oh atau tentang roti panggang yang tadi diberikan oleh Ibu untuk-ku juga untuk-nya?

Langit Biru, KDY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang