"Luna, kamu bicara apa saja sama Mama?"
"Rahasia."
"Tentang?"Mamanya kembali bersuara, "namanya rahasia ya tidak boleh ada yang tau, Biru."
Langit tersenyum ke arah mamanya. Senyum-nya beda, ini satu-satunya senyum yang lebih indah dari pada biasanya (walaupun biasanya juga indah). Pria yang sekarang sudah berkaus hitam itu mengelus tangan Mamanya lembut. Diam-diam aku ikut tersenyum saat memperhatikan Langitku.
Tidak ada yang ia lakukan selain menatap mata mamanya dalam juga mengelus tangan wanita itu. Aku juga jadi terbawa suasana dan tidak ingin mengeluarkan suara sedikitpun untuk memperburuk suasana. Aku mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan kejadian di hadapan-ku yang sampai saat ini masih kuanggap sebagai momen mengharukan.
"Selamat siang tante!" seorang gadis hadir di antara Langit dan Mamanya yang membuat priaku buru-buru mengubah posisinya menjadi berdiri.
"Mana Angkasa?" tanya Langit melihat ke arah dalam rumahnya.
Gadis tadi yang ternyata adalah gadis yang sangat ku kenal menengadahkan wajahnya untuk melihat ke arah Langit. "Ganti baju kali. Yuk kita makan dulu, Bunda gue udah bawain makanan nih." katanya sambil menunjuk-kan dua kantung sedang di tangannya.
"Yaudah, lo siapin dulu sana. Gue, Mama sama Luna tunggu di meja makan." balas Langit dingin.
Mata Kak Bintang mencari keberadaan-ku yang memang tertutup dua pot besar. "Eh? Ada Saluna." katanya sambil tersenyum kecil.
Tidak mau dianggap sombong atau apapun, aku tetap kembali tersenyum ke arahnya. Walau padahal aku sudah sedikit tidak suka dengan Kak Bintang. Pikiranku jahat, ini loh gadis yang juga diprioritaskan oleh kekasihmu, Luna.
"Hai, Kak." sapaku berusaha ramah.
Dia tersenyum lagi. Jujur, Kak Bintang itu cukup sempurna jika dibandingkan dengan beberapa mahasiswi lain seangkatan-nya. Dia cantik, pintar dan juga terkenal, bahkan katanya ada beberapa pria yang mengincar gadis bertubuh mungil itu. Tidak heran kalau namanya selalu dikenal oleh beberapa orang yang mungkin ia sendiri tidak mengenalnya.
"Luna udah lama di sini?" tanya-nya sambil membuka kotak makanan berisi cup cakes dan ia berikan kepada Mamanya Langit.
Aku mengangguk, "lumayan sih, Kak."
"Ini cup cakes toko kue yang aku beli di ujung deket kampus. Setiap ke sini aku selalu bawa ini, Mamanya Langit suka banget soalnya." kata Kak Bintang menjelaskan tanpa ditanya.
Lagi lagi aku hanya mengangguk berusaha menerima dan mengerti apa yang lagi ia sampaikan. Mataku melihat ke arah Mamanya Langit, beliau senyum sambil mengarahkan cup cakes nya ke arahku, seolah menawarkan tapi hanya kubalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis.
Aku membayangkan betapa dekatnya Kak Bintang dengan Mamanya Langit— ah, jangan ditanya, pasti dekat sekali. Sedangkan aku? Diajak untuk ke rumahnya aja baru sekali, bagaimana bisa mendekatkan diri kepada Mamanya Langit?
Ngaco kamu Luna, memangnya kamu siapa?
Hari ini perdana aku datang ke rumahnya. Dan perdana juga aku makan di rumahnya. Langit tau kalau aku adalah tipikal orang yang selalu (tidak selalu juga, sih) mengabadikan segala hal langka atau yang baru saja terjadi di depanku. Jadi kejadian hari ini hampir mengisi setengah dari memori ponselku.
Mulai dari Langit yang menatap Mamanya sambil tersenyum, dari Kak Bintang yang menyiapkan kami makan siang walau sebenarnya sudah ada banyak makanan di meja makan dan ditambah sama makanan yang gadis itu bawa, sampai dengan Angkasa.
Ah, Angkasa. Wajahnya seperti tidak asing. Seperti pernah lihat, tapi tidak tau di mana.
"Yuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Biru, KDY.
FanfictionNCT DOYOUNG SEMESTA Langit, kalau aku mencintaimu itu artinya aku sudah paham konsekuensi tentang rasamu kepadaku. Aku juga sudah siap patah untuk yang pertama kalinya. written by: buminyakala. start: 8 September 2019. end: -