16. tentang pria pembenci hujan

1K 182 23
                                    

pria itu benci hujan

"Katanya, dia hanya nggak suka kesedihan."

"Oh, hahahaha. Samudra. Benar-benar. Untung saja dia tidak mengambil hati Saluna dengan cepat."

L A N G I T B I R U —

Malam ini hujan, dan aku memutuskan untuk berdiam di kamar. Duduk sambil menyalakan musik-musik dengan alunan menenangkan. Sebenarnya aku baru saja pulang, diantar Kak Samudra. Harusnya aku sudah di rumah sejak pukul tiga sore tadi, tapi aku harus mengerjakan banyak tugas yang diberikan hari ini dan membuatku harus duduk sambil membaca sederet kalimat yang membuat kepalaku pening di perpustakaan sampai pukul tujuh malam.

Aku sempat membuat cokelat hangat sebelum masuk ke dalam kamar. Aku juga sudah sempat merendam tubuhku tadi. Jadi, sepertinya aku sudah setengah jam yang lalu sampai di rumah. Petir-petir saling bersahutan di luar sana tapi aku harus tetap berjalan ke luar karena harus memasuk-kan sepatuku yang tadi lupa kubawa.

"Astaga Kak Samudra? Masih di sini?" Aku kaget bukan main saat mendapati seorang pria yang sedang menutupkan wajah dengan jaket denimnya. Tidak lupa, ia juga menyumpal kedua telinga-nya dengan earphone. Yang tentu saja membuatnya juga tidak mendengar suaraku barusan.

Aku menggoyangkan tangan-nya dari samping. Mengisyaratkan-nya untuk melepas sesuatu yang menyumpal kedua telinganya.

"Eh? Kenapa Saluna? Saya ganggu kamu?"

Aku menggeleng, "nggak, nggak, Kak. Ini... kenapa masih di sini?"

"Saya...suka di sini?" Dia malah balik bertanya yang membuatku semakin bingung dengan-nya. Kak Samudra itu aneh.

Aku ikut duduk di sampingnya, mengurungkan niatku untuk mengambil sepatu yang sudah basah sepenuhnya terguyur hujan. "Sudah malam, nggak pulang? Saluna nggak menerima tamu kalau malam-malam."

"Saya nggak sedang bertamu, Saluna."
"Lalu ini artinya apa?"

Petir kembali bersautan tiga kali dan pria itu kembali menutup wajahnya pakai jaket yang sudah ia buka dari tadi. Seluruh wajahnya tertutup jaket— dan sepertinya aku tau. Kemudian aku tertawa, tidak tau kenapa.

"Takut petir, Kak?"
Dia mengangguk, "iya."

Aku kembali tertawa, sekarang agak keras. Mungkin malu, mungkin juga tidak. Tapi aku bisa melihat dengan jelas kalau ia menggaruk tengkuknya. Demi apapun, aku tidak bisa menahan tawaku. Saat tawaku sudah lumayan reda, kuajak pria itu masuk ke dalam rumah. Ia takut petir, tidak mungkin kubiarkan-nya untuk tetap duduk di halaman atau paling parah memintanya pulang.

"Nih, diminum dulu. Biar anget." Aku meletak-kan segelas teh hangat yang baru saja kubuat untuk Kak Samudra. Tapi pria itu masih diam pada posisinya. Memainkan ponsel dengan telinga yang tersumpal earphone.

Dengan terpaksa aku menarik salah satu benda yang menyumpal telinganya. "Diminum dulu."

Dia menyeruput teh buatanku— yang sebenarnya aku tidak tau itu terlalu manis atau bahkan tidak ada rasa manisnya.

"Saya bukan cuma tidak suka petir." katanya tiba-tiba yang membuatku meletak-kan novel karya Raina di sisiku.

"Lalu?"
Dia terkekeh, "saya tidak suka hujan."

Langit Biru, KDY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang