masih chapter 14 :

1K 188 21
                                    

Sudah hampir siang, tapi Langit masih mengajak-ku untuk memutari Kota Bandung yang sudah ramai. Katanya ia takut kalau besok atau lusa ia tidak dapat menemuiku karena tugas. Lagi-lagi alasan-nya karena tugas, dan lagi-lagi aku percaya padanya. Tidak ada alasan untuk tidak memercayainya.

"Farm House?" tanyaku tanpa menatap pria yang sedang fokus melipat lengan bajunya.

Dia mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari orang di hadapan kami yang juga ingin menukarkan tiket dengan susu sapi. "Saya sudah bilang kalau hari ini mau habiskan waktu bersama-mu."

Aku diam, dan Langit sibuk berbicara dengan seseorang yang ada di loket. Lalu ia kembali menatapku dan menyodorkan satu gelas berukuran tidak terlalu besar. "Sejak kapan kamu suka ke tempat-tempat seperti ini?"

Bukan-nya menjawab, dia justru terkekeh lalu meneguk susu yang sebenarnya ia sendiri tidak menyukai-nya— ralat, ia membencinya. "Minggu lalu adalah kali pertama saya datang ke tempat ini, dan saya menyukainya."

"Kamu ke sini sama siapa?"
"Bintang."

Aku mencerna satu nama itu baik-baik, menelan-nya dengan pahit. Segera kuteguk susu di tangan-ku untuk menghilangkan rasa kering di dalam tenggorokan.

"Jangan cemburu." katanya sambil merapikan rambutku yang tertiup angin. Di sini dingin, dan aku hanya membalut tubuh seadanya karena memang Langit tidak memberitau kalau kami akan pergi ke sini. "Saya suka tempat ini. Itu sebabnya saya mengajakmu ke sini." katanya.

Aku diam, menghampirinya yang sedang menutup mata lalu menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskan-nya dengan tenang. Ia menyarungkan tangan pada saku celana-nya.

"Tolong pegang ponsel saya."
"Kenapa?"
"Matikan dayanya, saya tidak mau diganggu oleh siapapun hari ini."

Berbeda dengan Langit, mataku lebih memilih menikmati pemandangan di hadapan kami. Ada beberapa orang yang juga berada di sini, tidak sampai sepuluh orang tapi mereka cukup ramai. Ada yang bersama pasangan atau mungkin bersaudaraan, tidak tau dan aku tidak peduli.

"Mas," aku menatap wanita berpakaian minim di sampingku yang sedang mengecup pipi pria berumur di sampingnya yang tidak dapat kulihat dengan jelas wajahnya. Dan aku rasa umur mereka pun tidak terpaut jauh. "kamu sudah resmi bercerai dengan dia?"

Aku tidak ingin mendengar pembicaraan mereka, tapi wanita itu berada tidak jauh dariku jadi suaranya-pun tetap terdengar. "besok sidang terakhir kami. Sayang, kamu sabar ya?"

Suara pria itu benar-benar tidak asing di telingaku dan tentu saja membuatku menghadap ke arah mereka yang menatapku bingung. Aku mundur beberapa langkah saat tau siapa pria itu. Kaki-ku lemas seperti agar-agar. Aku juga sudah pernah bilang kalau terkadang tubuhku terlalu berlebihan dalam merespon sesuatu.

"Luna," aku mendengar suara Langit setelah merasakan punggungku menabrak sesuatu yang ternyata adalah tangan kirinya. "kenapa?"

Aku diam, masih menatap pasangan mesra tadi yang juga menatapku. Pria itu hendak menghampiriku, tapi aku lebih dulu menggenggam tangan Langit yang menahan tubuhku. "D-diam di sana, Ayah."

Dia Ayahku. Pria yang dulunya selalu menjadi inspirasiku dalam hal kesetiaan terhadap satu orang itu tengah memeluk pinggang wanita lain— selain Ibu-ku. Aku benar-benar melihatnya dengan jelas, dan sekarang sepenuhnya aku percaya pada Ibu, selebihnya kuserahkan pada semesta.

"Langit..." kataku yang hampir saja terjatuh kalau Langit tidak menahan tubuhku dengan kuat.

"Ayo kita pulang."

Jantungku berdetak dengan cepat saat Langit dengan tiba-tiba membawaku ke dalam gendongan setelah mengatakan tiga kata tadi. Tidak tinggal diam, aku mengalungkan tanganku di lehernya.

Langit Biru, KDY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang