14. DVNM | Kemarahan.

7.4K 263 4
                                    

Van, lo mau kan jadi pacar gue?"

Lidah Vania mendadak kelu. Ia masih tidak menyangka ini terjadi.

Sejenak ia menoleh ke arah Netta. Perempuan itu juga terlihat sangat antusias menunggu jawaban dari bibir mungil Vania.

"A...Anu-"

Belum sempat Vania melanjutkan kalimatnya. Secara tiba-tiba seseorang datang. Kontan Mereka bertiga menatap heran kepadanya.

"Dia punya gue," Ucap lelaki berjaket jeans itu, dan dengan sigap langsung membawa tubuh mungil Vania dalam dekapannya.

Semuanya terkejut. Terlebih lagi Vania. Ia bingung, sebenarnya siapa lelaki ini.

"Lo siapa?" Tanya Netta.

Dengan cepat, Lelaki itu melepaskan topi yang melekat pada kepalanya. Dan sedetik setelahnya barulah mereka tahu siapa dia sebenarnya.

"De...Devan?" Netta, Arfan, dan Vania benar-benar keheranan dengan apa yang barusan ia lihat.

"Iya. Gue Devan. Gue suaminya Vania!"

Vania yang melihat itu semua hanya diam serta sedikit khawatir dengan apa yang nanti ada di pikiran lelaki itu tentang semua ini. Belum lagi dengan respon Arfan maupun Netta.

"A...Apa? Gu...gue gak salah dengerkan?" Tatapan Netta beralih pada Vania yang seperti kebakaran jenggot.

"Kurang jelas lo dengernya?" Devan menjeda. "Gue dan Vania udah nikah beberapa hari yang lalu!"

"Apa itu benar Vania?" Arfan tak mau kalah menanyai hal tersebut pada Vania.

Vania menghela napas panjang. Perlahan ia mengangguk.

Netta dan Arfan terkejut bukan main saat melihat respon Vania.

"Tapi, bukannya lo suka sama Arfan?" Mulut Netta tidak bisa direm. Kini Devan menatap tajam ke arah Vania.

"Gue kecewa sama lo Van!" ucap Devan dengan nada yang datar. Sesaat kemudian lelaki bertubuh jangkung itu melepaskan dekapannya dan berjalan menjauh dari Vania.

"De...Devan!" Vania berlari mengejar lelaki itu.

"Devan,"

"Devan, dengerin Nia dulu."

"Devan..."

Devan tidak merespon sama sekali panggilan dari Vania. Devan tidak berlari, ia hanya berjalan dengan cepat. Tapi, langkah kaki Vania yang mungil tetap saja tidak bisa mengejarnya, walaupun ia sudah berlari.

Lelaki itu terus berjalan menuju ke arah motornya. Dan dengan sigap memakai helm dan melajukan benda tersebut dengan begitu kencang. Ia tidak memperdulikan Vania untuk saat ini.

Vania mematung saat melihat hal tersebut terjadi. Tak terasa bulir airmata jatuh membasahi pipinya. Ini semua kesalahpahaman. Ia tidak bermaksud untuk mengecewakan Devan dengan semua ini. Lelaki itu terlihat marah. Ada banyak sekali hal yang ingin Vania jelaskan pada Devan. Tapi, jangankan untuk mendengarkan menoleh padanya pun tidak. Ah, bisa kah ia mengulang waktu. Kalaupun bisa, ia tidak ingin datang ke sini.

Dari kejauhan, seorang lelaki memperhatikan Vania.

"Bos, Gue udah nemuin posisi cewek itu."

***

Setelah kejadian tadi, Vania memilih untuk pulang ke Apartemen Devan dengan menaiki angkutan umum.

Ia berjalan dengan tidak semangat. Pikiran-pikiran buruk terus menghujam kepalanya. Ia sangat merasa bersalah pada Devan atas semua ini.

Ia menghela napas panjang. Menatap sekilas jalanan dari balik kaca angkot. Cuaca malam ini juga terlihat kurang baik. Serasi sekali dengan apa yang terjadi padanya.

Manik mata Vania beralih pada beberapa motor gede yang mengekor pada angkot yang ia tumpangi. Ia sedikit khawatir sekarang. Pasalnya, sedari tadi ia merasa motor-motor tersebut mengikutinya. Bahkan sampai ia naik turun dari angkot yang sebelumnya.

Ah, tenang Vania. Kamu jangan kepedean. Kamu terlalu banyak termakan cerita sinetron ikan terbang.

Angkot perlahan berhenti. Anehnya gerombolan motor tersebut juga ikut berhenti. Kontan Vania menjadi panik dengan itu semua.

"Pak, a...aku gak turun di sini. Lurus aja Pak," titahnya pada sang supir.

Perempuan itu kembali menoleh ke arah motor-motor tersebut. Benar saja, ketika angkot melaju, mereka juga kembali melaju.

Vania panik, sepanik-paniknya. Bagaimana ini? Apa yang mereka ingin darinya? Apakah ia ada salah padanya?

Ia berupaya menghubungi Devan. Berharap lelaki itu mau mengangkatnya.

"Ayolah Devan angkat telponnya." Gumamnya. Tapi, Devan tidak juga mengangkatnya. Bahkan sepertinya lelaki itu menonaktifkan ponselnya.

***

Dengan tatapan penuh emosi Devan berjalan masuk menuju markas.

"ARGGGGHHHHHHHHHHHH!" Devan melemparkan ponselnya ke dinding. Seketika benda tersebut hancur tak berbentuk lagi.

Melihat hal tersebut Geo, Fakhri, Ajit dan yanh lainnya terkejut.

"Dedev bisa gak sih lo ucapin salam dulu gitu. Ini mah dateng tiba-tiba marah kayak orang gil-" Fakhri segera menutup mulut Ajit. Ia paham sekarang kalau Devan sedang ada masalah.

Tanpa memerdulikan ucapan Ajit. Devan segera menghampiri mereka. Dengan sigap mengambil sebuah botol wine dan menengguknya dengan kasar. Hanya butuh beberapa tenggukan saja, kini botol tersebut sudah kosong.

"AMBILIN LAGI!" Bentaknya kepada Fakhri.

Sekilas lelaki itu menoleh ke arah Geo. Geo mengangguk.

Detik berikutnya Fakhri mengambilkan botol berwarna hijau tersebut, dan menyodorkannya pada Devan.

Benar saja, tanpa keraguan sedikitpun lelaku itu segera menengguk isi botol. Lagi, sampai tak tersisa.

"Prakkkkkkkkkkkk." Devan membanting botol yang kini kosong tersebut.

Tak butuh waktu lama, kini lelaki jangkung itu sudah ada dalam halusinasi akibat minuman tersebut. Dengan berjalan linglung, lelaki itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang ada di sudut ruangan tersebut.

Melihat hal itu, Geo, Ajit, Fakhri, dan Anggota Geng "Royal" hanya diam. Ia tidak berani berbuat apa-apa saat ketua Geng tersebut sudah bertingkah seperti itu.

Holla apa kabar? Masha Allah mimin lagi sibuk batt bikin project lain, smpai lupa sama Devania.

Publish : 25 Februari 2021


Married with Devan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang