MwD | Lagi.

4.3K 170 21
                                    

"Apa? Bella hamil Dok?"

"Iya benar, Usia kandungannya kurang lebih 15 minggu. Jadi, masih sangat rawan mengalami pendarahan. Sebaiknya Emosional Bella harus dijaga dengan baik, agar hal ini tidak terjadi lagi."

Devan benar-benar speechless. Bella Hamil? Tapi siapa yang melakukannya?

"Saya permisi dulu. Nanti kalau ada apa-apa, bisa hubungi suster yang sedang berjaga."

Devan mengangguk. "Baik, Terimakasih Dok."

"Sama-sama."

Devan beranjak, masuk ke dalam kamar dimana Bella dirawat. Sekesal apapun Devan dengannya, tetap saja ada rasa Iba di hatinya saat melihat tubuh Bella yang lemah tak berdaya dengan selang infus di tangan kirinya.

Devan benar-benar bingung, apa yang sebenarnya terjadi dengan Bella? Sejauh ini Devan mengenal Bella sebagai sosok perempuan yang baik, tapi ketika mendengar kabar Bella hamil. Seketika perkiraannya tentang Bella hancur. Pantas saja, ia begitu histeris dan tidak terima saat Devan memakinya dengan kata-kata Jalang.

Ponsel Devan bergetar. Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya. Rupanya panggilan telepon tersebut berasal dari Vania. Tanpa membuang waktu, Ia pun segera mengangkatnya.

"Hallo Van, kamu dimana?"

"Aku lagi di rumah sakit Cempaka."

"Hah? Siapa yang sakit? Kamu gak apa-apa kan? Kok mendadak firasat Nia jadi gak enak begini ya?"

Devan tersenyum saat mendengarnya. Rupanya begini, rasanya diperhatikan oleh orang yang kita sayang.

"Enggak, aku gak apa-apa kok."

"Yang bener? Ya udah aku nyusul kesana ya."

"Gak usah."

"Ish, kenapa sih?"

"Bentar lagi aku pul-"

Sambungan telepon tersebut mendadak terputus. Rupanya batterai ponsel Devan habis. Kontan benda persegi tersebut mati total.

...

Vania mengerutkan dahinya saat panggilan telepon tersebut terputus secara sepihak.

Nia tidak menampik, tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak sekarang. Lagi pula, apa yang dilakukan Devan malam-malam begini di rumah sakit?

Dadanya berdegub panjang. Entah kenapa ia mendadak jadi tidak tenang sekarang. Tak ada pilihan, Ia harus memastikannya langsung ke Rumah Sakit Cempaka.

Tanpa berpikir panjang, Vania memesan Ojek online.

Tidak butuh waktu lama, akhirnya Vania telah sampai di sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di Jakarta ini.

Vania setengah berlari, menelusuri lorong rumah sakit. Cukup lama perempuan bertubuh mungil itu berjalan, sampai kakinya terhenti saat melihat Devan keluar dari sebuah ruangan.

"Lho kamu kok nyusul?"

Vania menekuk wajahnya. "Emang kenapa kalo Nia nyusul? Kayaknya gak seneng banget."

Devan kembali tersenyum. Kemudian mencubit pipi kiri Vania. "Sejak kapan istriku ini jadi ngambekan?"

"Lagian kamu ngapain sih di sini? Katanya kamu gak apa-apa. Aku jadi curiga."

Devan menuntun Vania, duduk di sebuah kursi yang ada di lorong tersebut.

"Aku gak sakit. Aku cuma nemenin seseorang."

"Siapa?"

Devan menggenggam tangan Vania. "Bella."

Sudah Devan duga, Vania akan terkejut mendengarnya.

Dan, ternyata benar. Firasat Vania itu tidak pernah salah.

Devan menghela napas. "Jangan berpresepsi buruk dulu. Aku nganterin dia ke sini, karena tiba-tiba dia pingsan. Dia mengalami pendarahan."

"Jangan bilang, kalau dia hamil Van?" Tubuh Vania benar-benar bergetar saat mengucapkannya.

"Iya, dia hamil." ucap Devan perlahan.

"Dia hamil bu...bukan ka...rena ka...kamu kan?"

Devan mengangguk. "Bukan." Devan menjeda. "Dia baru datang ke sini sebulan yang lalu, tapi kata Dokter usia kandungannya sudah menginjak 15 minggu."

"Tapi, kalau itu bukan anak kamu. Kenapa kamu sepeduli itu sama dia? Apa kamu masih cinta sama dia?" Suara Vania mulai terdengar parau, akibat menahan isakan. Munafik, kalau hati Vania tidak terbakar cemburu sekarang.

Devan mengelus pundak Vania. "Ini bukan tentang cinta Nia. Tapi, ini tentang kemanusiaan. Ada 2 nyawa yang terancam saat ini."

"Aku mohon, tolong percaya sama aku sekarang." Lirih Devan.

Vania menghela napas perlahan. Menyeka beberapa tetes airmata yang mengalir dari matanya.

"Iya, aku percaya sama kamu." Jujur cukup sulit bagi Vania untuk mempercayai ini semua. Tapi, di balik itu semua, ucapan Devan ada benarnya juga. Ia tidak bisa egois saat ini. Masalahnya ini adalah tentang nyawa. Bukan seorang saja, akan tetapi dua orang sekaligus.

Tangan Devan terulur. Mengelus rambut Vania. "Sekali lagi makasih, karena udah mau percaya sama aku."

Vania mengangguk.

"Kamu udah makan?" Tanya Devan.

Vania menggeleng. "Belum,"

"Ya udah tunggu di sini ya. Biar aku cari makan dulu. Jangan kemana-mana."

Vania lagi-lagi mengangguk.

...

Seorang Suster menghampiri Vania.

"Mmmm...maaf Kak, apa Kakak ada hubungannya dengan pasien Bella?"

Spontan Vania mengangguk. "Iya, saya temannya."

"Oh, saya hanya memberitahukan bahwa Pasien atas nama Bella sudah sadar. Jadi, Kakak boleh menjenguknya di ruangan."

"Baik, terimakasih Sus."

Suster berhijab itu tersenyum. "Sama-sama Kak."

Tanpa membuang waktu, Vania beranjak. Masuk ke dalam ruangan di depannya.

Pemandangan pertama yang Vania lihat adalah Bella yang sedang berupaya untuk bangun dari ranjanganya.

Kontan Vania panik, dan dengan cepat ia menghampirinya.

"Pelan-pelan Bel. Sini, biar Nia bantu." Tawar Vania. Akan tetapi, ditolak mentah-mentah oleh Bella.

"Gak usah sok peduli." Bella berusaha bangun. Tapi, lagi-lagi ia merasakan nyeri di bagian perutnya.

"Awwwww..." pekiknya.

"Jangan dipaksa Bel. Kandungan kamu masih lemah."

Bella terdiam. Apa? Darimana ia tahu tentang dirinya yang sedang hamil.

Bella tersenyum sinis. "Oh, jadi lo udah tau tentang kehamilan gue?"

Nia mengangguk pelan.

"Terus apa lo tahu siapa yang udah buat gue hamil."

Vania mematung. Tidak mengerti apa yang dimaksud Bella sekarang.

"Ma...maksud kamu?"

"Gue hamil anak Devan." Tegas Bella.

Hallo apa kabar? Stay Safe All, cuaca lagi gak bagus. Banyakin minum air putih, cukup istirahat, dan konsumsi makanan yang bergizi.

Hehehe.... Mau ngomong apa sama Bella?

Publish : 23 Juni 2021

Married with Devan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang