DVNM | Awkward

6.8K 235 1
                                    

Vania sedari tadi tidak bisa berhenti blushing. Bahkan, di sekolahpun perempuan itu terus-menerus menahan malu.

"Lo kenapa? Dari tadi gue liat senyum-senyum sendiri. Terus pipi lo juga udah kayak make skincare bermerkuri. Merah," canda merkuri.

Vania melotot. "Apaan sih Ta, mana ada Nia make skincare yang bermerkuri. Kamu jangan ngadi-ngadi deh."

"Lah terus lo kenapa? Gak biasanya wajah lo kayak gini."

"Apa jangan-jangan lo sakit?" Sambung Netta.

Vania menggeleng. "Enggak kok Ta, Nia cuma lagi seneng aja."

"Oh iya-ya. Beda aja pengantin baru mah."

Vania hanya tersenyum.

"Tuh kan, apa gue kata juga. Lo waktu itu benci sama tuh cowok. Sekarang malah cinta kan?"

"Ish Tata apaan sih."

Netta malah tertawa. "Gimana, lo udah cinta sama Devan?"

Pertanyaan Netta barusan seakan-akan menampar Vania.

"Ni...Nia gak tahu Ta,"

"Lho, kok gitu?"

"Iya, Nia gak bisa definisiin perasaan Nia ke Devan,"

Netta semakin bingung. "Tapi, lo sayang gak sama Devan? Atau enggak lo nyaman gak berada di deket Devan?"

Vania terdiam beberapa saat. Memang, Vania belum tahu dia sayang atau tidak dengan lelaki itu. Tapi, entah kenapa Nia selalu nyaman di dekat Devan, dan setiap perlakuan Devan adalah candu baginya.

"Kalau Nyaman sih Iya,"

Netta tersenyum. "Itu berarti tandanya lo mulai sayang sama dia."

Vania mengangguk perlahan. "Bisa jadi sih Ta,"

Syukurlah Batin Netta.

"Terus gimana? Lo udah buka segel?"

Mata Vania melotot. Pertanyaan macam apa ini?

"Se...segel a...apa Ta?" Vania gugup.

"Lo polos banget sih Nia. Maksud gue lo udah begituan?" Netta menaik-turunkan kedua alisnya.

"Gimana? Punya Devan panjang apa gede?"

"Ish Tata kok nanyain itu sih. Nia gak tau." Pipi Vania lagi-lagi memerah. Ada-ada saja Netta ini.

"Lho kok gak tau sih," Netta merungut. "Apa jangan-jangan selama ini lo belum pernah kasih Devan jatah?"

Perlahan, Vania mengangguk. "I...iya, Nia belum pernah Ta."

"Kok bisa?"

"Kita masih SMA Ta, Nia takut nanti malah... Ya kamu tahu lah Ta."

Benar juga sih apa yang Nia ucapkan. Bisa berabe urusannya kalau sampai kebobolan. Jangankan sampai kebobolan, jika ketahuan menikah saja Vania dan Devan sudah pasti akan di DO dari sekolah.

Seorang lelaki menghampiri mereka berdua. Kontan, Vania dan Netta langsung memusatkan pandangannya pada lelaki itu.

"A...Arfan?" Vania gugup. Semenjak kejadian itu Arfan dan Vania jadi jarang bertemu.

"Hai. Boleh gue ganggu waktunya bentar?"

Vania dan Netta mengangguk perlahan. "I...iya, bo...boleh kok."

"Gue cuma mau ngasih tau, nanti sore seluruh anggota PMR jangan pulang dulu. Ada informasi penting."

"Informasi apaan Fan?" Sambar Netta.

Lelaki itu tersenyum. "Nanti kita bahas bareng-bareng ya pas kumpul."

Lagi-lagi Vania dan Netta mengangguk. "Oke Fan,"

...

Vania menghentikan langkahnya saat berada di depan apartemen. Kedengarannya begitu ramai di dalam. Ada apa ya?

Perlahan, tangannya menekan nomor pin yang ada di sudut dinding. Beberapa saat kemudian pintu pun terbuka.

Dan ternyata itu teman-temannya Devan. Bahkan ada Ajit di dalam sana. Ya Vania amat kenal dengan penyamun itu, selain ia adalah tetangga dari Netta. Ia juga termasuk murid terkonyol di sekolah.

Mata Ajit menyipit, memerhatikan Vania dengan sekilas. "Ah, masih sama aja. Vania gak berubah. Gak ahli lo Dedev ngolahnya."

Vania menautkan kedua alisnya. Sedangkan Fakhri, Geo, serta Devan melotot ke arahnya.

"Ma...maksudnya a...apa ya?"

"Pantes ya Dedev, waktu itu lo gak mau di ajak party bareng cewek. Eh ternyata bini lo polos banget. Wah gak salah lo milihnya."

Ajit makin menjadi-jadi. "Gimana punya Dedev Van? Setahu gua sih gede."

Pletak! Devan menjitak kepala Ajit.

"Lo bisa gak sih gak bahas itu Nyet!"

Geo ikut-ikutan ngomel. Sedangkan Devan hanya menahan malu.

"Ka...kalian udah ma...kan? Biar Nia siapin dulu." Tawar Vania, mengalihkan topik pembicaraan.

"Enggak perlu Van, kita gak laper. Kan?" Ucap Geo meyakinkan.

"Iya Van, kita udah makan kok." Timpal Fakhri.

Krukuuuuuuuk. Perut Fakhri bunyi. Ah, ketahuan sudah bahwa mereka berbohong.

"Idih dasar Riri munafik." Ajit mengumpat. "Kalau laper bilang aja. Gue mah gak kayak Riri. Gue laper Van." Dengan percaya dirinya Ajit berbicara seperti itu.

Fakhri,Geo, dan Devan kembali melotot ke arah Ajit.

"Lah kenapa? Gue mah anaknya jujur. Inget! Bohong itu dosa." Ajit sok Iya.

Vania tersenyum. "Sebentar ya, Nia ke dapur dulu."

Nia melenggangkan kaki menuju dapur. Sebetulnya ia kepikiran satu hal.

"Gede?" Vania bergidik ngeri membayangkannya.

Hallo apa kabar? Makasih ya udah mau mampir.

Publish : 23 Maret 2021









Married with Devan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang