DVNM | Marah yang tertunda

6.9K 245 2
                                    

Hari ini Vania dan Devan tidak pulang bersama. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu pulang lambat, hari ini ia lebih memilih untuk pulang cepat. Ia ingin meminta penjelasan kepada Devan tentang apa yang sudah lelaki itu lakukan padanya malam tadi.

Pintu Apartemen terbuka, menampilkan seorang Devan yang aut-autan. Wajahnya juga pucat.

"Devan, Nia mau ngomong sama kamu." Vania langsung menghujani Devan dengan banyak pertanyaan.

"Nanti dulu ya, Aku mau ke kamar dulu." Ucap Devan lemas.

"Ih jangan dulu, jawab jujur apa yang kamu lakuin ke Nia tadi malem."

Devan menggeleng. "Aku gak ngapa-ngapain kamu."

"Jangan bohong! Ini kenapa di leher Nia ada cup-"

Brakkkkkkkkk! Tubuh Devan terjatuh ke lantai. Kontan Vania kaget bukan main melihatnya.

"Devan kamu kenapa?" Nia menampar-nampar pipi Devan perlahan. Mata lelaki itu tertutup seperti tertidur. Fix, sepertinya Devan pingsan.

"Aduh ya Allah gimana ini?"

Dengan cepat Vania menghubungi Bunda Hanum, dan seorang Dokter. Pikirannya kacau sekarang, ada apa dengan Devan?

...

Vania memperhatikan seorang dokter tengah memeriksa keadaan Devan.

"Dia hanya pingsan biasa. Tekanan darahnya rendah, mungkin dia terlalu banyak bergadang, telat makan, atau terlalu kelelahan."

"Ini obat-obatnya ya. Dan untuk sementara waktu biar dia istirahat dulu," Lanjut dokter itu.

Vania mengangguk. "Baik Dok, terimakasih ya."

Dokter itu juga mengangguk. "Saya pergi dulu ya."

"I...iya Dok,"

Setelah dokter itu keluar dari apartemen, Vania menghampiri Devan yang masih tertidur pulas di ranjang. Matanya memperhatikan seksama wajah Devan yang pucat, perlahan tangannya mengusap-usap rambut lelaki itu.

Setetes air mata jatuh membasahi pipi Vania. "Maafin aku Van, kamu terlalu sibuk ngurusin aku. Sampai lupa sama diri kamu sendiri."

Sedetik setelahnya pintu apartemen terbuka. Memperlihatkan seorang Hanum yang panik.

"Bunda Hanum, hiks...hiks..." Vania langsung berhambur ke pelukan perempuan itu.

"Udah jangan nangis ya sayang, Devan memang seperti itu. Dia pas SMP aja sering pingsan." Hanum menjeda. "Sebentar lagi dia sadar kok," Hanum sebisa mungkin meyakinkan Vania.

Dari air mukanya Vania benar-benar khawatir dengan Devan.

Beberapa saat kemudian mata Devan mulai mengerjap.

Kontan Vania dan Hanum segera menghampiri lelaki itu.

"Kamu udah sadar Van?" Tanya Vania.

Devan mengangguk. Lelaki itu mencoba membangunkan tubuhnya. Dengan cepat Vania menahannya.

"Jangan bangun dulu. Kamu harus istirahat."

Devan menggeleng. "Aku gak apa-apa Kok."

"Kamu jangan ngeyel Devan. Kamu gak tahu apa kalau Vania sebegitu paniknya pas liat kamu tepar." Hanum menyambar.

Spontan lelaki itu menoleh ke arah Vania. Benar saja, dari ekspresinya ia memang terlihat sangat panik.

"Ya udah, Bunda ke dapur dulu ya. Bunda mau ngangetin semur ayam yang tadi Bunda bikin."

Vania mengangguk.

Tangan Devan meraih tangan Vania. "Maafin aku ya, kalau udah buat kamu khawatir."

Vania menggeleng, "Nia yang harus minta maaf. Kamu terlalu sibuk ngurusin Nia kemarin, sampai kamu kayak gini." Mata Vania mulai berkaca-kaca lagi.

Dengan cepat Devan mengusap air mata itu. "Gak apa-apa."

"Ta...tapi-"

"Udah jangan terlalu dipikirin."
Lelaki itu menjeda. "Oh iya, tadi katanya ada yang kamu mau tanyain. Apa?" Devan menyenderkan tubuhnya di tepi ranjang.

"Hm...itu-" Vania gugup. Niatnya ingin marah perihal tanda di lehernya. Tapi, melihat kondisi Devan sekarang. Ia malah jadi tidak tega.

"Hm?" Devan mempertegas.

"A...anu, Ni...Nia cuma mau tau, ta...tadi kamu kemana pas gak ma...suk sekolah." Vania beralibi.

"Oh, itu. Biasa cuma di basecamp."

"Ki...kirain Nia kemana."

"Enggak, aku kalau gak masuk sekolah cuma disitu bareng yang lain."

"Oh, oke. Cuma itu." Syukurlah Devan percaya dengan kebohongannya.

"Tapi tunggu bentar." Devan memperhatikan leher Vania sekilas. Menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi kapas yang ditempel plaster.

"Leher kamu kenapa?"

Devan khawatir. Apakah perbuatannya semalam terlalu kasar, sehingga membuat Vania terluka?

Aih, kenapa dia malah menanyakan hal ini.

"Maaf ya Van. Aku gak bermaksud buat kamu terluka." lirih Devan,

Vania menghela napas panjang. Melepaskan kapas dan plaster itu dari lehernya.

"Hmm...Nia gak kenapa-napa. Nia cuma nutupin ulah kamu. Untung temen-temen Nia gak ada yang curiga."

Devan terkekeh kecil. "Eh, aku kira sampe luka. Ya udah nanti malem aku bikinnya gak di leher deh."

Mata Vania melotot. "Ih kamu apa-apaan sih."

"Ya udah deh. Gimana kalau gantian aja. Kamu yang bikin kissmark di leher aku. Aku rela kok." Devan meledek atau memang cari kesempatan sih.

"Dish, ogah."

"Serius kamu gak mau? Nanti aku ajarin deh."

Vania menjentil kening Devan. "Jangan ngimpi!"

Holla. Akhirnya bisa juga update. Hahaha Devan gitu ya ternyata.

Publish : 19 Maret 2021

Besok, aku ulang tahun lho😂


Married with Devan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang