Devan, Vania, Bunda pulang dulu ya. Besok pagi-pagi Bunda akan ke sini lagi."
Vania dan Devan mengangguk.
"Iya Bun, makasih ya udah mau Nia repotin."
Hanum tersenyum pada Vania. "Gak sayang, kamu kan anak Bunda juga. Jadi, udah kewajiban Bunda buat peduli juga sama kamu."
"Sekali lagi makasih ya Bun."
"Sama-sama anak Bunda. Ya udah, selamat malam ya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Beberapa detik setelah Hanum keluar dari apartemennya, Vania menghampiri Devan.
"Van, kamu minum obat dulu ya."
Devan menggeleng. "Tadi kan aku udah minum obat. Nanti aja."
"Itu kan tadi siang. Kan obatnya 3 kali sehari."
"Ya udah sini," lelaki itu mengambil beberapa butir obat tersebut, dan dengan cepat menelannya.
Tangan Devan beralih mengambil remot AC. Mengatur suhu ruangan. Entahlah biasanya ia toleran terhadap suhu dingin. Tapi sekarang ia malah menggigil. Mungkin Devan meriang. *merindukan kasih sayang.
"Kamu kedinginan Van?" Vania memastikan.
Lelaki itu mengangguk.
"Bentar ya, biar Nia ambilin selimut."
Belum sempat perempuan itu beranjak. Tangannya dengan cepat ditahan oleh Devan.
Devan menggeleng. "Gak perlu,"
"Lah gimana sih, katanya dingin?"
"Aku maunya dihangatin kamu, bukan selimut."
Vania sebisa mungkin mencerna maksud perkataan Devan. Ah, Vania ini bloon atau kelewat polos sih.
"Ma...maksudnya?"
Devan kembali tersenyum. "Peluk,"
Blush. Pipi Vania mulai memanas lagi. Aih dalam lubuk hatinya, Vania ingin. Tapi, untuk saat ini ada rasa malu di hatinya.
"Kok diem? sini." Devan merentangkan tangannya.
Dengan malu-malu, Vania menuruti perintah Devan. Mensejajarkan kepalanya pada tubuh lelaki itu. Wangi khas Devan tercium, itu benar-benar membuat Vania sedikit tenang. Walau detak jantungnya masih tidak beraturan.
"Nah kalau gini kan anget."
Devan menempatkan wajahnya di puncak kepala Vania. Tangannya kemudian terulur, melingkar di pinggang perempuan itu.
"De...Devan, ja...jangan kenceng-kenceng meluknya. Ni...Nia gak bisa napas."
Bukannya merenggangkan pelukannya, Devan justru makin mengeratkannya.
"Devan,"
"Aku mohon jangan protes. Aku lagi nyaman."
Vania hanya diam. Ah ia baru tahu rasanya ketika suami sedang sakit. Senakal-nakalnya Badboy, tetap saja ia akan manja pada orang yang tepat.
...
Devan mengerjapkan matanya, ketika seratus persen tersadar ia terkejut, kemana Vania pergi. Ia tidak ada di samping Devan.
Sesaat setelahnya Vania masuk, membawakan sarapan dan obat untuk Devan. Tapi, Lelaki itu masih bingung. Kenapa Vania pakai seragam sekolah?
"Kamu mau masuk sekolah Van?" Tanya Devan,
Vania mengangguk. "Iya,"
Kedua alis Devan bertaut. "Kok kamu tega sih sama aku?"
"Tega kenapa?"
"Kok aku ditinggal sendirian?" Devan balik bertanya.
"Kata siapa kamu sendirian? Bunda Hanum kan nanti ke sini. Lagian, Nia berangkat sekolahnya juga pas Bunda Hanum udah di sini."
Tangan Devan secara mendadak menggenggam tangan Vania. Kontan Vania melirik ke arahnya.
"Ke...kenapa?"
"Hari ini jangan sekolah ya!"
Vania menarik napas panjang. "Van, kemarin udah hampir seminggu Nia gak masuk sekolah. Tugas Nia juga masih banyak yang belum diselesain."
"Aku mohon Vania,"
Ah lama-lama Nia gak tega juga kalau melihat Devan harus memohon seperti ini.
"Van, jangan kayak gitu. Bukannya Nia gak mau nemenin kamu. Tapi, Nia juga gak bisa nyepelehin sekolah Nia." Vania menjeda. "Sekali lagi maaf ya Van,"
"Ya udah gak apa-apa." Jawab Devan datar.
"Dih kok marah sih?"
"Gak apa-apa."
"Jangan gitu dong."
"Hm,"
"Devan?" Vania mulai tidak enak dengan Devan. "Devan, ih jawab."
"Maafin Nia ya. Kamu jangan marah dong."
"Hm," lelaki itu tidak menatap ke arah Vania.
"Devan?"
"Ih Nia mohon."
"Hm,"
Lama-lama Nia naik darah juga.
"Ya udah terserah kamu mau maafin aku apa enggak. Yang penting aku udah minta maaf!"
Vania beranjak meninggalkan Devan,niat hati ingin dimanja-manja, apalah daya Nia malah marah-marah.
Devan tersenyum sekilas perlahan menghampiri Vania yang sedang merapihkan seragam dan memandangi pantulan dirinya di depan cermin.
Tanpa aba-aba, Devan memeluk Vania dari belakang. Memposisikan wajahnya pada leher Vania. Hembuskan napas Devan berhasil membuat tubuh Vania seperti tersetrum. Sihir apa ini?
"Aku gak marah, kok malah kamu yang marah."
"Ya abisan kamu." Vania masih cemberut.
"Jangan marah dong, gak seru jadinya."
"Iya,"
Vania mengambil sebuah lipbalm, kemudian mengoleskan benda tersebut pada bibirnya.
"Itu rasa apa?" Tanya Devan.
"Rasa cherry." Vania menjeda. "Kenapa? Kamu mau pake juga?"
Devan menggeleng. "Gak, aku cuma penasaran rasa cherry itu gimana."
"Ma...maksudnya? Kamu belum pernah makan cherry?"
"Bukan gitu, cuma aku pengen tahu aja rasanya."
"Nih jilat aja!" Vania menyodorkan benda tersebut ke arah Devan.
"Bukan dari situ."
"Lah teru-"
Dengan cepat Devan menyambar bibir Vania. Tidak memberi kesempatan bagi perempuan itu untuk berbicara.
Vania seperti terhipnotis. Ia sadar, tapi ia seakan-akan tidak mau untuk menyudahi apa yang Devan lakukan terhadapnya.
Cukup lama mereka berdua melalukannya. Sampai secara tiba-tiba, Pintu kamar mereka terbuka. Menampilkan sosok Hanum yang melongo melihat mereka berdua.
"Ma...maaf, Bun...Bunda ke belakang dulu."
Haduh, haduh. Terimakasih udah mau mampir. Kalian gak berniat ngucapin mimin ulang tahun gitu? Hari ini Mimin ulang tahun lho.
Publish : 20 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Devan [END]
Ficção Adolescente15+ Devan Baskara Mahendra adalah Badboy kelas kakap di SMA Garuda yang terpaksa harus menikah dengan Agatha Vania Kirana yang tak lain adalah perempuan yang sangat membencinya. Apakah yang akan terjadi? Start : 27 Januari 2021 Finish : 22 Januari 2...