MwD | Hah? 2

3.7K 150 2
                                    

"Pacaran Yuk!"

Netta terkesiap. Jujur dia tidak menyangka sama sekali. Suasana saat ini mendadak awkward bagi mereka berdua.

"Pa...pacaran?"

"Iya, gua ngajak lo pacaran." dengan entengnya Arfan menjawab seperti itu. "Gimana? Lo mau jadi pacar gua kan?"

Sebetulnya tawaran ini yang Netta tunggu-tunggu sejak lama. Siapa sih yang tidak bahagia dengan momen seperti ini? Tapi apakah semua ini terkesan aneh? Kenapa tiba-tiba dia mengajaknya pacaran? Netta yakin betul, kalau Arfan masih mencintai Vania. Itu pasti. Tidak mungkin Arfan bisa cepat move-on darinya.

Atau apakah hal ini semua terkesan pelarian?

"Maaf, gua gak bisa." ada sakit hati yang luar biasa Netta rasakan saat kalimat tersebut keluar dari mulutnya.

Arfan terkejut bukan main. "Kenapa? Bukannya lo suka sama gua?"

Netta tersenyum kecut. "Iya."

"Tapi, gua gak mungkin ngejalin hubungan sama orang yang enggak mencintai gua balik. "

"Gua gak mau, lo jadiin gua cuma sebagai pelampiasan Fan. Gua gak mau itu."

Arfan terpaku. "Ta...Tapi, maksud gua gak kayak gitu Ta."

"Tetap Fan, gua belum bisa."

"Apa kelakuan gua kemarin terlalu keterlaluan? Sampai bikin lo gak mau terima gua?" Lirih Arfan.

"Bukan itu Fan, "

Netta mengusap airmata yang mulai memenuhi kelopak matanya.

"Coba, sekarang lo jawab dengan jujur. Apakah lo udah cinta atau sekadar suka sama gua?

Arfan diam. Bohong kalau Arfan bilang dia mencintai Netta. Arfan belum sedikitpun memiliki perasaan pada Netta.

Netta tersenyum getir.
"Diemnya lo udah jadi jawaban bagi gua Fan."

"Jangan paksa hati lo buat mencintai gua Fan."

Netta mengucapkan hal tersebut dengan ikhlas sambil tersenyum.

"Lo berhak buat mencintai orang lain Fan. Lo gak perlu kasihan sama gue. Gue yang pertama kali jatuh cinta sama lo. Udah konsekuensi gua buat ngerasain sakit hati."

Tak tertahan, beberapa tetes airmata mengalir dari mata Netta. Munafik, kalau Netta tidak merasakan sakit ketika mengutarakannya.

"BTW makasih ya udah mau nganterin gua. Gua masuk dulu."

Netta berniat beranjak. Tapi, sebelum itu, tangan Arfan terlebih dahulu menahannya.

"Apakah lo masih suka sama gua setelah lo tahu sifat asli gua Ta?"

Netta mematung. Berusaha bersikap baik-baik saja.

"Kalau lo masih suka sama gua. Gua mohon, ajarin gua biar jatuh cinta sama lo."

"Gua gak mau nyia-nyiain orang setulus lo Ta."

"Gua percaya cinta itu akan datang karena terbiasa. Give me the chance's Ta."

"Sekali aja Ta."

Seharusnya Netta bahagia bukan main saat orang yang ia cintai, memohon untuk menerimanya seperti ini. Tapi, semuanya sudah berbeda sekarang.

"Gua mohon Ta," nada bicara Arfan terdengar lirih.

Jauh dilubuk hati Netta ada rasa tidak tega. Satu sisi dia tidak menampik, ada begitu banyak alasan untuk berkata "Ya, gue nerima lo." Belum lagi sikap Arfan seperti sekarang. Tapi, ia tidak mau egois. Ia tidak mau memaksakan seseorang untuk mencintainya. Meskipun Arfan yang memohonnya.

Netta lagi-lagi menghela napas panjang. "Maaf Fan, gua belum bisa."

Arfan terdiam untuk beberapa saat.

"O...Oh ya udah kalau itu memang keputusan lo Ta. Gua juga gak bisa maksain hal itu." Arfan melepaskan genggaman tangannya dari Netta.

"Gua harap, hubungan kita baik-baik aja setelah ini Ta."

"Iya, gua harap juga begitu Fan."

Bohong! Penipu! Pendusta! Hubungan pertemanannya tidak akan benar-benar baik-baik saja setelah hari ini.

"Ya udah, gua pulang dulu ya Fan. Makasih udah mau anterin gua pulang."

Arfan mengangguk. Baru beberapa detik Netta berjalan menjauh. Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya menghampiri Netta.

"Ya Alloh Neng kenapa Ibu nelpon gak diangkat-angkat tadi."

Netta terlihat bingung. "Tadi, Hp Tata mati bu. Memangnya ada apa ya?"

"Anu, Ibu kamu tadi pingsan. Ibu udah coba nelpon kamu. Sekarang, Ibu kamu dibawa lagi ke rumah sakit."

"Ya Allah Ibu." Netta terlihat panik luar biasa saat mendengar kabar itu.

Mendengar hal tersebut, tanpa ragu Arfan segera menghampiri Netta kembali.

"Biar gua anter lo ke rumah sakit."

Tidak ada pilihan, Netta pun mengiyakannya.

...

"A...aw. sa...sakit Van." Vania meringis. Merasakan bagian bawah tubuhnya yang sakit.

"Pe...lan, pelan."

"Ini aku pelan-pelan kok Yang."

"Tapi kok sakit. A...aw." Nia tidak berhenti meringis. Rasa sakit dan perih bercampur jadi satu.

"Sakitnya sebentar aja kok. Nanti juga ilang. Sedikit lagi kok."

Beberapa detik setelahnya, akhirnya Devan selesai mengoleskan obat ke Kaki Nia.

"Dah selesai. Kata dokter jangan banyak gerak dulu. Kaki kamu masih bengkak."

"Nanti, kalau kamu mau ngambil apa-apa. Bilang aku aja. Biar aku yang ambil. Kamu harus banyak istirahat ya Yang."

"V...Van?" Panggil Vania

"Iya Yang?"

"A...aku minta maaf perihal tadi di rumah sakit. A...aku sempat gak percaya sama kamu. Ka...lau Bella itu ngandung anak kamu."

Devan tersenyum. "Gak masalah." Perlahan Devan memeluk tubuh Vania. Lalu mencium pucuk kepalanya.

"Lain kali, jangan pernah bahas tentang cerai. Jujur, aku gak mau kehilangan kamu Van."

Tanpa ragu, Vania membalas dekapan tersebut. Pelukan inilah yang membuat Vania merasa pulang. Ia benar-benar menyukai pelukan ini, aroma tubuh ini, dan kehangatan ini.

Tapi, beberapa saat kemudian Nia keheranan. Seperti ada yang aneh dari tubuh Devan.

"V...Van?"

"Hm."

"A...adik kamu bangun ya?"

Devan melotot. Its normal Bro😂

Adu Aduah.

Publish : 30Agustus 2021




Married with Devan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang