Ch. 20

4.7K 802 32
                                    

A Little Braver

When it gets hard
i got a little stronger now
I got a little braver now

_________________________

"Papa mungkin udah membuat kesalahan besar. Kalau boleh jujur, Papa gak tenang selama ini, Ndu. Rasanya ada yang salah sama perceraian Mamamu dan Papa."

Meja itu seketika hening, bahkan tiba-tiba tidak ada lagi yang menggerakan alat makan mereka. Bunyi garpu dan sendok yang beradu dengan piring tiba-tiba berhenti seiring dengan getar halus yang pria itu kirim.

"Papa mau minta maaf sama Pandu. Sama Kak Elang juga. Perceraian ini semua datangnya dari Papa, kalian tau gak ada yang bahagia setelah itu kan?"

Tangan Janartha mendekat, membawa telapak tangan dingin Pandu masuk sempurna ke dalam tangan besarnya.

"Kalau tau Pandu bakalan tinggal sendiri bahkan banting tulang buat bertahan hidup, Papa gak akan pernah biarin. Tapi sekalipun begitu, semuanya tetap salah Papa karena sudah gak pikir panjang buat menyetujui ide kalian untuk hidup berdua."

"Papa salah, Ndu."

Sekelebat gema yang beberapa waktu Papa sampaikan seakan membawa Pandu mengoyak kembali luka lama yang susah payah ia obati. Keluarganya seperti meletakan bom waktu di dalam hidup Pandu, membiarkannya begitu sama hingga bom itu meledak dengan sendirinya.

Kata-kata Mama yang sempat bungkam nyaris hingga pertemuan mereka selesai berhasil membawa Pandu sampai ke ambang batas pemikirannya tentang hubungan keluarganya yang kusut.

"Lagian apa yang salah dengan tinggal sendiri? Semuanya membantu Pandu hingga menjadi pribadi yang mandiri kayak gini? Iya 'kan, Ndu?"

Pandu spontan menggeleng meski hatinya ingin sekali mengiakan saja. Namun otaknya benar-benar menolak, seolah tengah menempatkan Pandu dalam perdebatan sengit yang terjadi di dalam kepalanya. Lalu bagaimana dengan hari-hari sulit? Bagaimana dengan saat-saat perihnya menahan maag? Atau bagaimana hari-harinya menahan ngilu pegal yang menyiksa? Semuanya harus ia tahan seorang diri. Pandu hidup sendiri bukan hanya sekedar mandiri, bukan hanya sekedar melelahkan. Bila perjuangannya hanya di nilai sekecil itu, otaknya spontan tidak terima karena hatinya kembali terluka.

"Pandu gak mau hidup sendiri lagi," ujarnya dengan nada sumbang. Bibir keringnya ia basahi dengan lidah kemudian tersenyum tipis meski memecah-mecah bibirnya yang kering itu.

"Gak enak," lanjutnya.

Pandu menghela nafas, rasa sakit hatinya terlalu berapi-api saat itu. tangan dinginnya yang bergetar dibawah meja bahkan tidak dapat lagi ia kontrol saking menyakitkannya suasana itu. bukan tentang kata-kata mereka yang seakan memaksa Pandu patuh pada keadaan dan melarangnya memilih kehidupannya sendiri. Namun kembali ber-empat dimeja yang sama membuat memori buruk yang terjadi dimeja makan membuat kepala Pandu pening seketika. Serangan trauma yang di alaminya selalu memiliki reaksi yang berlebihan. Dan terkadang membuat Pandu kewalahan.

"Mama pasti makin gak suka sama gue," cicitnya.

Elang yang tengah menyetir langsung mengalihkan fokusnya dari jalan raya sesekali.

"Maksudnya?"

"Mama pasti ngiranya gue anak durhaka."

"Kenapa gitu?"

"Padahal sebenarnya gue gak apa-apa tinggal sendirian di sana. Lang? Kenapa sih lo tiba-tiba mau gusur rumah susun dan kekeh buat gue pindah ke tempat Papa?"

The Day After April Come✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang