Ch. 22

4.5K 786 97
                                    

He can't carry this anymore

Mama said that the sun gonna shine
But mama don't know what it's like to want to die

_____________________________

Elang memandangi tumpukan berkas diatas meja dengan tidak berselera, padahal dulu dia selalu ingin mencapai target dalam waktu yang singkat. Namun kini, tumpukan proposal yang belum ia baca mulai menggunung, berkas-berkas penting yang perlu ia tanda tangani mulai terbengkalai.

Elang total berantakan. Rencana-rencana besar yang sudah ia susun setelah kembali ke Indonesia sudah berantakan. Target penjualan, target perusahaan dan macam-macam banyak yang terlambat dari target yang sudah ia tentukan dengan perhitungan yang matang. Hanya dengan kehadiran satu orang yang pernah ia lupakan kehadirannya, adik kandung satu-satunya yang ia punya. Yang tiba-tiba muncul seperti kilat dan membakar habis lahannya.

Mencoba menenangkan diri, Elang menyesap kopi hitamnya yang mulai mendingin sambil memutar kursinya menghadap jendela kaca besar yang menampakan penampakan kota Jakarta dibelakangnya. Setelah puas dengan beberapa kali seruput, Elang bangkit dan berencana pergi ke rumah Janartha tanpa sepengetahuan Pandu maupun Janartha. Malam pertamanya disana sudah berlalu, Elang penasaran dengan apa yang terjadi pagi atau siang tadi. Ia hanya ingin memastikan anak itu baik-baik saja.

Namun baru juga menyimpan ponselnya ke dalam saku jas. Tuan Erwin masuk dengan langkah tegas.

"Herlang," panggilnya lalu mengintrupsi putranya untuk duduk disalah satu sofa. Ada amplop cokelat yang baru sang Ayah letakan diatas meja.

Elang melirik sekilas sambil menebak beberapa fakta tentang berkas yang ada di dalam amplop itu. namun pada akhirnya Erwin mendorong amplop cokelat itu kehadapan Elang lalu menghela nafas panjang.

"Ini surat perjanjian dan kompensasi. Kasih ke Syafri, dia minta untuk mempercepat transfer. Kalau begitu minta persetujuan untuk menggusur lebih awal juga," ujar Erwin.

Tangan Elang bergetar memegang amplop cokelat itu. bagaimanapun juga hidup Pandu ada disana. Membayangkan betapa hancurnya Pandu menerima ini semua, berat untuk Elang cerna. Sehingga hanya memegang berkas inipun, hati Elang ikut sakit.

Namun Elang dari awal memang tidak punya pilihan, perusahaan yang dibangunnya ini berawal dari akomodasi yang Ayah angkatnya berikan. Tidak ada pilihan selain menjadi anjing penurut. Hingga akhirnya ia hanya bisa mengangguk.

"Kamu mau pergi ya?"

Elang menoleh kemudian mengangguk lagi.

"Kemana? Ketempat adikmu? Mama khawatir kamu belakangan ini jarang pulang ke rumah."

"Akhir-akhir ini aku lembur, sekarang juga masih banyak proposal yang belum aku cek."

"Terus kenapa kamu keluar? Selesaiin aja sekarang, habis itu malam ini tidur dulu di rumah."

Elang menghela nafas panjang. Mama angkatnya itu memang sedikit agak protektif.

"Oke. Sekarang Elang ke rumah susun dulu."

"Kan bisa minta tolong aja, Herlang. Kamu yang memimpin perusahaan ini, tugasmu banyak, bukan hanya bolak-balik rumah susun. Lagian itu juga bukan proyek besar," ujar Erwin dengan sedikit nada kesal. Sedangkan Elang juga tak kalah kesal.

"Gak apa-apa, Pa. Herlang juga tadi mau keluar beli sesuatu, sekalian aja. Herlang berangkat dulu."

Melihat punggung putranya yang sudah lenyap tanpa aba-aba. Erwin menghela nafas sambil menyandarkan punggungnya kepunggung sofa. Kalau sudah begini, ia tidak boleh kalahkan? Jadi perlukah ia juga bertindak? Bahkan meskipun cara yang akan digunakannya sedikit...kekanak-kanakan?

The Day After April Come✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang