Ch. 21

4.6K 785 120
                                    

Find Hope In A Hopeless

If you see the boy I used to be
Could you tell him that I'd like to find him
And if you see the shell that's left of me
Could you spare him a little kindness

________________________

Setelah akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki menelusuri trotoar ditengah-tengah ibu kota. Pandu akhirnya menghentikan tungkainya tepat didepan rentetan kedai kopi sambil memandangi kedua sahabatnya yang mengintil dari tadi dibelakangnya. Masalahnya Pandu sendiri tidak punya tujuan, dan dua orang ini kekeuh ingin mengikuti kemanapun ia pergi.

"Udah dong ngikutinnya!"

"Emang kenapa?" sahut Ferdian.

Pandu berdecak kesal. Pasalnya Valdian yang gayanya super modis inipun berkeliaran ditengah-tengah hiruk pikuk kota, kalau tiba-tiba diculik, 'kan meresahkan. Ditambah angka followersnya di instagram itu lumayan banyak meski galerinya hanya berisi foto-foto mainan Action figur kesayangannya. Belum lagi Ferdian, anak itu sibuk dengan berbagai macam kelas tambahan. Apa untungnya mengikuti Pandu yang sendirinya sedang bingung mau singgah ke mana.

"Lo gak les apa?" tanya Pandu sambil menunjuk Ferdian.

Anak itu mengangkat bahu sambil pura-pura melihat kesekitar.

"Lo? gak lucu 'kan gue berdua Ferdian masuk koran gegara dituduh nyulik anak konglomerat?"

"Siapa anak konglomerat?"

"Rafathar," jawab Pandu asal dengan penuh rasa dongkol.

Valdi mengedarkan pandangannya. Seolah anak yang bernama Rafathar benar-benar tengah bersama mereka. Jangankan Pandu, Ferdian saja sampai berdecak kesal.

"Ya Allah, tahajud gue malam ini. Gue berdoa sama Tuhan biar panjang umur lo, Di. Biar punya waktu buat tobat!" ujar Ferdian sambil usap-usap dada dramatis.

"Ya Tuhan, lo Khatolik bego!" sahut Pandu lalu menjitak kening Ferdian penuh emosi.

"Astafirullah, gue tau!"

"Istifar lo!"

"Istifar..istifar..istifar."

"Minggat ah gue dari Indonesia. Ke Palembang aja gue jualan mpek-mpek," decak Pandu lantas melanjutkan langkahnya kesembarang arah, sedangkan dua sahabatnya kembali mengintil di belakang.

"Btw, Ndu," panggil Valdi.

"Apa hal lagi ni," sahut Pandu iseng mengikuti logat Upin dan Ipin.

"Ke rumah makan Nek Ros aja yuk?" ajak Vedi.

Detik itu Pandu berhenti melangkah. Keheningan tiba-tiba membekap ketiganya ditengah-tengah ibu kota yang ramai. Sesaat, bunyi berisik klakson juga pekikan anak-anak jalanan yang tengah menjajakan jualan dilampu merah memenuhi indra pendengaran mereka meski ke dua pasang mata itu masih mengamati sosok Pandu lekat yang dirasa-rasa kian meringkih.

"Gue sebenarnya lagi gak ke rumah susun dulu," katanya akhirnya.

"Kenapa?" Valdi sebenarnya kaget. Ada rasa perih sedikit saat wajah usil dan ceria Pandu tiba-tiba berubah sendu, kontras dengan matahari yang tepat diatas kepala.

Pandu mengangkat bahu sembari melanjutkan perjalanannya. Akibat Valdi, tiba-tiba ia jadi teringat satu tempat yang ingin ia datangi disaat bumi seterang ini.

"Kadang hidup tuh kerasa gak adil. Setidaknya buat gue. Orang-orang kekeuh banget bilang kalau semua orang itu punya masalahnya sendiri, mereka semua punya masa-masa sulit dan masa-masa berjuang. Gue tau, tapi pikiran kayak...seenggaknya mereka punya satu hari paling membahagiakan dalam hidup, atau ada orang yang benar-benar ngerasain pelangi setelah hujan tepat setelah hujan mereda, pikiran kayak gitu pasti ada."

The Day After April Come✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang