ch. 1

10.5K 1K 58
                                    

PANDU'S UNIVERSE

Dunia seperti apa yang tengah ia tinggali.

____________________________

Kamis pagi. Subuh-subuh Pandu sudah siap dengan seragam batik sekolahnya. Biasanya hari ini ia akan bersiul dengan nada sumbang karena hari kamis adalah hari terakhirnya mengantar koran. Berhubung hari ini moodnya sedang tidak tentu, pikirannya juga liar tidak jelas, maka ia melupakan kebiasaannya bersiul sebelum fajar. Kalau kata Mang Tony, siulan Pandu itu iring-iringan matahari untuk bangun dari singgasananya. Kalau kata Madam, siulan Pandu itu bisa-bisa memanggil para ular piton masuk kerumah susun.

Seperti yang Pandu ingat. Hari ini adalah hari dimana direktur perusahaan akan melakukan kunjungan ke pabrik. Pandu tidak bisa menghilangkan bayangannya bila Herlangga yang Kang Epis maksud adalah Herlangga Mandala Kakaknya. Orang yang sama yang sudah meninggalkannya tiga tahun yang lalu, orang yang sama yang masih Pandu rindukan hingga saat ini.

Tanpa banyak aba-aba, Pandu sudah mengayuh sepeda ontel--fasilitas bosnya untuk mengantar koran. Mengayuhnya dari perumahan satu keperumahan lainnya. Fajar belum timbul, pagi ini masih segelap malam. Mungkin karena mendung.

Sambil meletakan kertas berisi berita terkini itu diteras sang empu, Pandu mengunci jaketnya lebih erat. Angin berhembus lebih dingin. Kulit sawo matangnya jadi terlihat lebih pucat. Semua orang diperumahan ini masih hanyut dalam lelap. Kalau boleh jujurpun Pandu masih mengantuk. Jadwalnya padat. Sangat padat. Namun seperti tidak pernah lelah, kaki kurusnya terus mengayuh sampai ke rumah terakhir. Rumah pelanggan setianya. Pelanggan yang selalu menunggu Pandu datang.

"Pagi, Kak Pandu," sapanya saat Pandu baru saja menyandarkan sepedanya. Sambil tersenyum, Pandu membawa koran itu sampai ketangan pemilik.

Di kursi rodanya, anak berumur 14 tahun itu tersenyum lebar sambil menyambut koran dari tangan Pandu. Fajar sudah menyumbul dari balik awan hitam, meski masih malu-malu berbagi hangatnya.

"Pagi, Baraaa. Baru bangun ya?" tanya Pandu. Anak yang Pandu panggil Bara itu menggeleng, lalu tak lama wanita berjilbab yang menggunakan baju pengasuh itu keluar membawa susu dan roti sambil tersenyum.

"Bang Pandu 'kan udah bilang. Bang Pandu ke rumah Bara itu jam setengah enam, jangan ditungguin. Kalau belum bangun, Abang tungguin, deeh."

"Bara takut Bang Pandu kira gak ada orang dirumah," pengasuh yang berada dibelakang kursi roda Bara terkikik geli.

"Den Bara itu bangun dari jam empat lho. Cuma buat nungguin, Bang Pandu."

Bara mendelik, lalu merampas piring berisi roti selai dan susunya kehadapan Pandu. "Ini buat Bang Pandu. Hadiah karena udah anterin koran. Besok datang lagi ya? Bara nanti suruh Mba Sumi masakin nasi goreng."

Pandu tertawa. Sudah enam bulan semenjak Bara menjadi fan fanatiknya. Anak ini selalu ingat jadwal kerjanya, selalu menawarkannya sarapan setiap mampir mengantar koran. Bahkan pernah menawarkan ponsel yang lebih canggih. Namun Pandu hanya ingin Bara tetap sehat dan bisa kembali menjadi anak seusianya, tidak perlu ponsel terbarupun, mereka masih bertukar pesan, tanpa sarapan mewahpun, Pandu masih akan singgah dirumahnya.

"Besok 'kan Abang gak antar koran. Giliran sama yang lain," ucap Pandu. Anak itu menepuk jidat sambil memekik kesal karena lupa.

"Abang buru-buru. Bang Pandu ambil roti ini satu aja ya, sisanya buat Bara. Cepet sembuh!" ujarnya riang sambil bangkit lalu melempar senyum manis sambil melambaikan tangan. Bara membalasnya tak kalah heboh, bahkan membuntuti Pandu hingga depan gerbang. Ia bahkan mendorong rodanya sendiri sampai akhirnya buru-buru Mba Suminya mengambil alih karena takut tangan majikannya lecet.

The Day After April Come✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang