Ch. 32

4.6K 688 33
                                    

Something that you would never understand II

Sebenarnya menjadi kuat itu mudah, namun kadang situasi yang membuatnya susah.
Tapi di satu sisi, justru situasi yang membuat kita kuat.

_____________________________

Elang berdiri kaku diteras saat obsidiannya berhasil menangkap sosok Pandu yang berhasil membuka pagar rumah dengan mudah. Tentu saja, anak itu kelewat hafal dengan setiap detail yang ada dirumah ini. Rumah dimana keduanya tumbuh bersama, rumah dimana akhirnya semesta memisahkan mereka.

Elang meremat jemarinya erat saat bendung dimatanya perlahan tumpah tanpa ia sadari, namun Pandu bahkan tidak lagi melangkah dan ikut mematung didepan pagar rumah. Ini terasa seperti akhirnya mereka bertemu secara benar, dengan Pandu yang harusnya berdiri diteras dengan senyum mengembang menunggu kepulangan sang Kakak. Namun kini justru sebaliknya, Elang bahkan terlihat begitu menyedihkan dengan duduk murung bersandar pada pintu.

Situasi ini terasa seperti harusnya saat mereka bertemu kembali energi yang tercipta itu seperti ini. Rindu yang sudah lama mereka tabung seolah tumpah dan meluap-luap di satu tempat. Bahkan bila memang dunia mencampakan Pandu, Elang tidak seharusnya ikut-ikutan membuangnya. Namun skenario Tuhan terancang tragis, meski berakhir dengan Elang menangis keras sembari berjalan cepat dan merengkuh tubuh adik kecilnya dengan benar.

Fajar perlahan turun. Nyanyian burung merpati milik tetangga bersahut-sahutan dan lewat tepat diatas kepala mereka. Ujung sepatu mereka saling berdampingan, menyatu dengan semen tua yang telah berlumut dan hancur, bersama dengan kenangan dirumah ini yang telah melebur bersama tanah basah halaman sehabis hujan.

"Ndu!" panggilnya dengan suara serak. Pelukannya semakin erat seiring dengan isak tangisnya yang semakin keras.

Elang tidak pernah menangis sekencang ini selama ia hidup. Namun kehilangan sang Adik adalah tamparan keras bagi Elang tentang arti dari Tuhan menciptakan keluarga di dalam dunia ini. Ia sudah berusaha tegar saat menjalani hidup tanpa Pandu, namun kehilangan Pandu tanpa kabar adalah yang terburuk. Tidak akan pernah bisa ia bayangkan sekali lagi bila Pandu harus menjalani hidup seperti terakhir kali ditempat yang baru.

Pandu marah besar. Ia membalas pelukan Elang dengan erat dan isak tangis yang tidak lagi mampu ia tahan. Ia marah karena tidak bisa membenci Herlangga setelah sekian banyak luka yang telah ditorehkan kepadanya. Bahkan sebenci apapun ia saat menceritakan sosok Elang dan orang-orang yang telah membuatnya terluka kepada Dokter Randa, Pandu tetap tidak kuasa saat bertemu langsung dengan mereka.

Kadang-kadangpun Pandu merasa tidak adil dengan situasinya.

Namun melihat Elang yang kali ini begitu patah, Pandu lagi-lagi tidak sanggup untuk membencinya. Karena ia pernah ditinggalkan, ia pernah sendirian dan takut kehilangan sebagaimana apa yang Elang rasakan kini.

Tapi lagi-lagi, Pandu merasa ada yang tidak benar dengan dirinya. Ia memeluk Elang sekali lagi dengan lebih erat dan isak tangis yang makin keras, mengatakan bahwa ia begitu menyesal lewat tangisnya, menyesal karena nampaknya ia belum bisa sembuh dari masa lalu. Bahkan Pandu sendiri tidak mengerti, bahkan bukit ditepi jalan Queenstown dan gunung salju di New Zealand tidak sepenuhnya membantu. Dan Pandu marah untuk itu.

"Lucu ya? Gue udah ngejar lo jauh-jauh ke New Zealand, ujung-ujungnya kita ketemu di Jakarta."

Pandu tersenyum tipis sembari menggigit ayam krispi dari restoran cepat saji langganan mereka dulu yang Elang pesan ke rumah. Meski kenangan lama terputar kembali, namun keduanya memilih diam dengan pikiran masing-masing. bahkan meski sekuat tenaga Elang fokus dengan makanannya, presensi Pandu tidak dapat ia abaikan. Visual yang ia lihat saat ini terlalu menghanyutkan, adik kecilnya yang dulu begitu lengket dengannya kini berubah menjadi remaja tampan dengan kulit pucatnya.

The Day After April Come✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang