Ch. 34

4.7K 703 37
                                    

Till We Meet Again

I have many things, just like you
That I cried and laughed at
So I'm sure we'll manage
Till we meet again

____________________________

Rasanya aneh saat kembali lagi kemari. Terakhir kali hujan lebat disertai petir yang turut membasahi tanah berpasir diluar lapas. Perasaannya juga jauh berbeda sejak terakhir kali, bukan rindu, bukan kesal, bukan juga keluh yang mau ia bagi pada seseorang yang terjebak dibalik jeruji besi di dalam. Bukan, orang itu sudah tiada bersama harapannya. Hanya tersisa satu orang yang menjadi kekecewaan terbesarnya pada semesta yang telah membuat mereka punya hubungan darah yang kental.

Demi Tuhan, Pandu tidak benci pada Papa, sedahsyat apapun kekecewaannya pada kelakuan Papa, ia tidak benci. Tapi Pandu juga manusia, yang bisa patah hatinya, jadi kendati benci, ia kini hanya marah. Perasaan yang tidak bisa ia tampik dari kemarin namun sebisa mungkin ia kubur bersama jasad Mang Tony tempo hari.

Baju oranye itu terlihat cocok bersanding dengan kulit sawo matang Papa. Putusan hakim belum benar-benar keluar, masih ada sidang minggu depan untuk tau hukuman apa yang akan Papa dapati. Yang jelas, Pandu berharap Papanya dapat mengambil hikmah dari ganjaran yang ia dapatkan.

Pandu sengaja melarang Elang menemaninya bicara, bahkan meski ia tau dosa apa yang sudah Papa perbuat. Kalau Papa juga mau melenyapkannya sekalian, Pandu tidak akan memberontak. Toh dunianya sudah lenyap duluan.

Namun memandangi wajah datar Papa dengan rambut hitam yang mulai memanjang dikulit atas bibir dan dagunya sudah cukup baginya untuk menukar rasa sakit lewat tatapan mereka yang sama-sama terpaku. Bedanya dimata Papa penuh dengan api dendam, dimata Pandu kosong, hanya pantulan Papa yang tersenyum miring.

"Papa nyesel gak?"

"Gak," bahkan belum sedetik setelah Pandu melontarkan pertanyaannya.

"Papa--," Pandu tercekat kala pertanyaan yang mau ia ajukan meremat jantungnya kuat.

"Papa sebenarnya sayang gak sama anak-anak Papa?"

Papa diam, enggan menjawab. Wajah angkuhnya masih bertahan, senyum miring yang sedari tadi ia toreh masih tercetak dibibir keringnya. Namun Pandu tidak goyah, meski duduk di sini rasanya seperti berdiri ditengah-tengah ombak samudra.

"Kalau mau ngomong langsung ke intinya. Saya gak menyesal sama sekali."

Pandu meremat jemarinya erat, berusaha menahan air mata yang sudah dipelupuk. Ia berdoa dalam hati agar Papa mendapat kembali ke jalan yang benar, namun tetap saja, mendengar tutur dingin sang Papa berhasil mengoyak luka lamanya. Sekalipun ia tau apa yang sudah membuat Papa gelap mata hingga melakukan dosa terbesar manusia, Pandu tidak akan pernah bisa lupa bahwa nyawa Mang Tony lenyap ditangan Papa.

"Pandu sayang Papa," tiba-tiba saja tangisnya pecah diujung kalimat. Pandu mencoba menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan seraya menunduk dalam. Sekuat tenaga mencoba menenangkan diri sendiri. Ada banyak kalimat yang ingin ia sampaikan, akan sulit untuk berbicara jika sudah menangis diawal.

"Aku tau Papa enggak, itu kenapa aku gak pernah sekalipun mencoba buat pulang ke rumah Papa ataupun Mama."

"Waktu Kak Elang udah pulang, aku kira kita bisa ketemu lagi sebagai keluarga. Bayanganku cukup indah saat itu, Pa. Tapi akhirnya gak ada yang sesuai rencana, satupun," papar Pandu dengan tangan gemetar dibawah meja.

Pandu menghapus air matanya, namun yang terjadi justru air matanya makin deras terjun membasahi kulit wajahanya.

"Padahal aku udah usaha buat bikin kita baik-baik aja. Aku usaha gak nemuin Mama sama Papa pas aku lagi butuh, aku tau kalian gak suka aku tiba-tiba datang. Tapi aku gak tau kenapa Pa?"

The Day After April Come✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang