Ch. 33

4.7K 734 61
                                    

You'll always here with me, along with me

I always wanted someone to completly understand how hard and painfull it is. Wanting to cry and scream but not being able to express it.

_______________________________

Pandu pikir setelah ditinggalkan berkali-kali, ia akan siap dengan segala skenario pahit yang Tuhan gariskan untuknya nanti. Namun belajar dari terakhir kali, perjalanan sulitnya untuk menemukan titik terang menciptakan trauma mendalam dalam ingatannya. Seberapa sering orang ditinggalkan, orang itu tidak akan pernah bisa terbiasa dengan rasa kecewa.

Sama dengan Pandu saat ini yang tengah memandangi jasad Mang Tony yang tergeletak tidak bernyawa diatas brankar dingin dikamar autopsi dengan luka memar diwajah dan perban yang dipenuhi noda darah dikepala. Baju khas penghuni jerujipun masih melekat ditubuhnya yang sudah terbujur kaku. Sama seperti bagaimana Pandu berdiri disampingnya tanpa melakukan apa-apa selain berdiri mematung dengan kinerja otak yang seakan berhenti memilah emosi.

Jangan tanya dimana Madam. Saat Pandu pingsan karena kelelahan saja ia tersedu hingga nyaris pingsan. Dan kini, Madam benar-benar ada di UGD karena menangis hingga sesak nafas. Semua menjadi kacau seolah tsunami besar menghantam pusat kota.

Elang menggenggam jemarinya erat disamping, memakukan pandangannya dengan ekspresi apa yang akan Pandu tampakan pertama kali setelah menahan kerutan wajahnya dengan ekspresi datar, bahkan meski dokter mengatakan bahwa mereka tidak lagi dapat menolong kerusakan otak Mang Tony yang sudah fatal.

Apa yang sudah terjadi?

Itu gila, entah Pandu atau tragedi yang menimpa Mang Tony, semuanya gila.

Mang Tony terlibat perkelahian di dalam sel bersama tersangka lain. Entah api apa yang membuat Mang Tony, makhluk super sabar yang pernah Pandu kenal itu terbakar amarah. Namun keduanya begitu murka hingga saling melayangkan tinju yang sayangnya menimbulkan kecelakaan yang merenggang nyawa. Belakang kepala Mang Tony menghantam keras lantai semen dan darah bercucuran.

Pandu betul-betul kebingungan memilah emosinya, sejak ia tau dengan siapa Mang Tony berkelahi. Ia tidak ingin mempercayainya, ia juga tidak ingin menerima semuanya, bahwa Papa adalah manusia paling menyeramkan yang pernah Pandu kenal.

"Ndu," panggil Elang.

Pandu tidak menoleh sama sekali. Ia juga ikut merasa bersalah, karena momen haru biru yang terjadi dirumah tadi, Pandu jadi tidak bisa datang tepat waktu.

"Tinggalin gue sama Mang Tony dulu, Kak," ujarnya pelan, malah terdengar seperti bisikan. Ekspresinya benar-benar tidak menunjukan ekspresi apapun sehingga Elang bahkan tidak dapat menebak isi hati dan pikiran anak itu.

Awalnya Elang menolak, karena ia sungguh tidak tega. Pandu mungkin tidak meluruhkan satu bulir air matapun, namun dari netra cokelat gelapnya, Elang tau Pandu hancur sehancur-hancurnya.

Hingga tepat setelah Elang membiarkan ruangan yang hanya diisi Pandu dan jasad Mang Tony didalamnya, tepat saat itulah Pandu luruh dengan kedua kaki yang melebur seolah tulang-tulang yang menopangnya hilang, jemarinya masih menggenggam erat jemari dingin Mang Tony, biarpun tidak lagi ada nyawa penggerak dan jantung yang berdetak, Pandu berharap masih ada sisa-sisa kekuatan yang dapat ia ambil.

Orang-orang mungkin melihat Pandu sebagai sosok paling kuat saat tiba dirumah sakit tanpa meneteskan satu bulirpun air mata. padahal nyatanya, ia berekspetasi begitu besar pada Tuhan bahwa tidak akan ada lagi luka besar yang perlu ia obati. Padahal nyatanya, kini ia bersimpuh sembari menggenggam erat jemari dingin dan membiru Mang Tony dengan isak tangis paling pilu, karena ia hanya manusia yang juga bisa rapuh.

The Day After April Come✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang