ch. 9

5.2K 852 33
                                    

HOLDING A PAIN

When you said your last goodbye
I died a little bit inside
I lay in tears in bed all night
Alone, without you by my side

-Kodaline

_________________________

Ferdian berdecak kagum saat melihat Valdi berangkat ke sekolah bersama Pandu. Senyum kapitalisme yang masih terlihat manis itu ia tebarkan. Aura uang yang Valdi tebarkan disampingnya bahkan tidak mampu menutupi aura keberadaannya.

Untuk pertama kalinya orang-orang menyadari se-friendly apa Pandu Alfarras. Orang-orang mungkin baru menyadari seberisik apa Pandu. Mungkin karena ia akhirnya memiliki banyak waktu tidur dari biasanya, energinya jadi banyak terisi hari ini.

Pandu juga tidak pernah merasa seenerjik ini. Ia bahkan bercerita banyak hal. Seperti story teller handal. Semuanya ia ceritakan, termasuk kejadian aneh atau lucu yang sudah terjadi dua tahun yang lalu.

Pagi ini sudah cukup membuat suasana hatinya bagus. Tidak panas namun juga tidak dingin, cukup untuk menstabilkan suhu badannya yang mulai menurun meski masih dikatakan demam. Pandu itu tidak suka obat, jadi bila belum terasa sakit ia akan membiarkannya hingga membaik. Iya, dia sekeras kepala itu dengan segala prinsip-prinsip konyolnya.

"Ndu, pulang ini mau ke Gramedia?" tanya Ferdian. Cowok itu menahan lengan Pandu yang dibalut jaket biru tua favoritnya, namun yang ditahan menggeleng dengan menyunggingkan senyum lebar.

"Gue kerja," baru saja ia ingin melanjutkan langkahnya menembus puluhan orang dikoridor sebelum tubuhnya ditahan Ferdian dan dengan cepat punggung tangan Ferdian sudah ada dikeningnya.

"Kalau sakit jangan dipaksa. Madam bisa ngamuk, lho!" peringat Ferdian, cowok yang masih berjalan didepan kedua temannya itu kemudian berbalik dengan senyum yang kali ini lebih tulus.

"Gue hari ini mau ngelamar kerja," paparnya. Ia maju, merangkul Ferdian dan Valdi sekaligus meski setelahnya Valdi langsung menepis lengan kurus Pandu dari bahunya.

"Doain ya? Biar diterima, gaji pertama gue traktir seblak deh seporsi."

"Bisa-bisanya nyari kerja lagi, kerjaan lo itu udah banyak Pandu. Segitu aja lo tidur mulu dikelas. Padahal bentar lagi UN loh."

"Tenang aja, Yan. Kalau gue keterima ditempat ini, gue bakal lepas ditempat satunya," Ferdian berdecak malas sambil memutar kelerengnya.

"Yakin, lo?"

"Yakinlah! Hidup itu gak boleh meragu, Yan. Kalau gak punya tujuan, setidaknya lo hajar aja yang mau lo lakukan sekarang."

"Ya gue kan khawatir aja. Nanti lo kecapekan, yang panik kalau lo drop siapa? Madam! Satu rumah susun bahkan! Madam bakal marahnya ke gue dempul!"

Pandu itu tau kapasitasnya. Ya memang meskipun sudah tau, terkadang masih ia abaikan. Namun, Mang Tony pernah bilang pada Pandu waktu para penghuni rumah susun sedang damai dan koridor mereka yang akhirnya sepi. Mereka duduk berdua didepan teras Pandu diatas pan kayu sambil menatapi jalanan dibawah sana kemudian Mang Tony bercerita tentang masa lalunya.

"Mamang ini belum bercerai sama istri, tapi dia sudah hilang gak tau ke mana, jadi Mamang anggap kita sudah berpisah."

"Serius, Mang?" tanya Pandu. Waktu itu Pandu sendiri masih bergelut dengan gelapnya dunia setelah ditinggal Elang. Jadi setelah tau ada orang lain yang juga ditinggalkan oleh orang terkasih, Pandu cepat tersentuh.

"Iya, udah sepuluh tahun. Mamang sebenarnya punya seorang putri, waktu dibawa kabur ibunya, dia masih empat tahun."

Pandu masih diam mendengar cerita Mang Tony. Pria paruh baya itu menarik kakinya naik, membuat suara 'krek' terdengar. Bahkan saat mata Mang Tony mulai berkaca-kaca, Pandu masih diam saja, seolah menunggu hujan turun dari langit dengan sendirinya.

The Day After April Come✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang