ch. 6

5.3K 892 72
                                    

BERDIRI DI ATAS PUING-PUING

Semesta itu selalu punya cara untuk membanting hidupmu. Bukan untuk membuatmu hancur, namun untuk membuatmu lebih kuat.

_______________

Seperti yang sudah Pandu jelaskan. Selalu ada bawang merah dimanapun ia berada. Contohnya di rumah susun ini, ada sosok laki-laki tinggi besar yang tua tiga tahun darinya. Namanya Muel. Sudah kuliah semester akhir, namun rumornya masih ada beberapa mata kuliah yang harus ia ulang menurut curhatan ibunya saat membeli sayur digerobak Mang Suef. Kegiatannya adalah menodong Pandu, mengejek Pandu karena tidak punya orang tua, mengejek Pandu karena fisiknya kecil dan lemah, mengejek Pandu karena bergaul dengan waria dan preman. Bahkan tidak jarang Pandu terkena serangan fisik.

Maka dari itu. Kini ia tengah ketakutan setengah mati saat dari ujung jalan ia dapat melihat lampu gerbang hidup dan beberapa anak laki-laki nongkrong disana dengan gelas kopi dan tembakau diujung jari. Padahal ia sudah menggigil karena kedinginan, kini malah ditambah rasa takut. Bukan karena mereka, justru ia takut Elang tau.

"Disini aja, Kak," ujar Pandu, kemudian ia bersiap-siap turun.

"Gue anterin sampai depan."

"Gak usah, di sini aja."

"Gak apa-apa. Tanggung, kok."

"Itu yang lagi nongkrong karyawan lo semua," bohong Pandu cepat. Elang melirik kesampingnya dengan kening mengkerut.

"Lo yakin?" tanyanya curiga.

Pandu mengangguk sebagai jawaban. Lantas, mobil Elang berhenti begitu saja ditepi jalan. Baru saja ia akan menyodorkan payung yang tadi sempat ia beli disupermarket, adiknya itu sudah lebih dulu berlari keluar mobil dengan memeluk tasnya. Malam sudah larut, namun ia masih enggan beranjak. Masih membiarkan matanya mengamati punggung Pandu menjauh dan memasuki gerbang yang diramaikan bujang-bujang yang sibuk dengan kopi hitam.

Mengamati, bagaimana kerumunan itu merangkul adiknya, mengacak-acak rambutnya, sesekali menulaknya, hingga akhirnya tubuhnya berlari memasuki rumah susun. Kerumunan itu tertawa terbahak-bahak, meski Elang curiga, namun ia tetap mengira adiknya masih baik-baik saja.

🍃

Tepat setelah menutup pintu rumahnya, tubuh Pandu jatuh meluruh dibelakang pintu. Tubuh yang masih basah kuyup itu meringkuk, kepalanya ia sembunyikan diatas lutut, bahkan di saat ia sesedih ini ia tidak menangis.

Helaan nafas berat berkali-kali lolos dari bibirnya. Ia menarik nafasnya sedalam mungkin hingga paru-parunya terasa sakit dan iapun terbatuk karenanya. Namun sakitnya tidak hilang juga. Pisau yang tadi Elang tancapkan dihatinya tidak lepas juga.

Sakit rasanya begitu tau orang yang selama ini ia tunggu, yang ia yakini sebagai akhir dari sakit dan jalan keluarnya dari lorong sempit ini rupanya jauh dibawah ekspektasinya saat bertemu. Elang bukan lagi laki-laki lembut yang membelai keningnya disaat ia sakit, atau bukan lagi Elang yang membuatkannya nasi goreng mentega dipagi hari diwaktu dulu. Fakta bahwa mungkin hal itu tidak akan terulang membuat Pandu menelan pil pahitnya lamat-lamat.

Semesta selalu punya cara untuk membanting kembali hidupnya yang susah payah ia susun. Langit selalu punya cara untuk menghancurkan ekspektasi tinggi atau bahkan ekspektasi sederhananya. Membuyarkan semua khayalannya untuk keluar dari lubang hitam ini. Padahal sudah ratusan kali ia mengeluh, ia bisa saja mati bila ia hidup seperti ini setiap hari. Di setiap doanya ia selalu meminta Elang untuk kembali, lalu setelah permintaannya dikabulkan, Tuhan punya cara lain untuk meruntuhkan percayanya pada dunia.

The Day After April Come✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang