Ch. 19

4.6K 833 64
                                    

KONSPIRASI BUMI

Bukan menyerah, tapi pasrah.

____________________________

Setibanya dirumah, tau-tau kamarnya sudah kosong. Jarum infus yang disangkutkan diatas ranjang juga sudah menghilang. Bahkan seprainya sudah diganti dengan yang baru. Adiknya tidak lagi ada disana, hanya meninggalkan baju yang ia pakai semalam dan aroma tubuhnya yang masih tertinggal disela sudut kamarnya.

Joana bilang, anak itu kekeh ingin pulang tanpa perlu menunggu Herlangga. Dan anak itu benar-benar pergi. Elang bingung, bagaimana lagi meyakinkan adiknya bahwa ia sebenarnya hanya khawatir. Ia rindu, ia takut dan cemas, lalu apa lagi. kenapa anak itu berusaha sekali menghindar darinya setelah capek-capek meruntuhkan pertahanannya. Ia bahkan menerobos pintu perusahaan hanya agar dapat bertemu dengannya.

Ia ingat saat mengintip dilantai satu, dan menemukan anak itu tidur ditoilet karyawan. Lalu memorinya kembali begitu saja saat Jevion bilang anak itupun kelelahan saat hendak berkerja di minimarket tengah malam. Anak itu tidak pernah baik-baik saja, dan ia tau semua ini salahnya. Salahnya yang sudah menelantarkannya.

"Pandu gak bilang apa-apa, Ma?" tanya Elang saat menemukan Ibunya tengah memotong apel dengan teknik mundur yang berantakan diruang tengah.

Wanita itu berdecak, kemudian mengembalikan apel-apel rusak dipangkuannya ke atas meja.

"Dia bersikeras sendiri mau pulang. Mama sudah kasi makan, kok. Kamu gak perlu khawatir, lagian dia memang gak nyaman tinggal lama-lama di sini. Mendingan kamu sekarang mandi, terus istirahat."

"Herlang pulang ke apartemen."

"Kesana lagi? Jarang banget di rumah semenjak pulang dari Amerika."

"Aku ada meeting pagi besok," jawab Elang penuh alasan sehingga Joana tidak lagi dapat membantah selain memberikan pelukan hangat dan membiarkan putranya pergi.

🌾

Jantung Elang berdetak dua kali lebih cepat. Pandu pernah menjadi prioritasnya, Pandu pernah menjadi pusat dunianya, Pandu pernah menjadi satu-satunya alasan ia bertahan saat Mama dan Papa memilih bercerai dan meninggalkan mereka berdua. Pandu pernah menjadi satu-satunya keluarga yang ia punya. Pandu juga bahkan pernah menjadi satu-satunya alasan ia menangis ditengah malam di riuhnya kota New York hanya karena merindukan jemari kecilnya memeluk dadanya saat tidur dan merindukan Mama dan Papa.

Mungkin ini yang dirasakan Pandu saat pertama kali mereka bertemu. Takut. Karena mereka pernah sedekat nadi sebelum akhirnya ia merasa dunia akan tsunami dan memisahkan mereka selama-lamanya.

Hingga dering telepon masuk menyadarkannya dari lamunan singkatnya. Padahal ia baru saja akan melajukan mobilnya gila-gilaan seperti waktu itu. namun nama Jevion yang tertera dilayar jauh lebih menarik, sehingga belum ada lima detik, suara Jevion langsung memenuhi isi telinganya.

"Pandu sampai di rumah susun dengan selamat. Ada teman-temannya dari siang menunggu, jadi mereka sedang ngobrol di teras. Dia baik, tidak perlu khawatir."

Elang menghela nafas panjang, hatinya seketika meringan seiring dengan rematan kuat di setirnya berkurang.

"Ada lagi yang mau lo tau?"

Jevion melepas bahasa kerja sama mereka. Pria itu mungkin marah, namun entah untuk apa. Namun mereka memang dekat, hingga sebenarnya Jevion tidak perlu payah-payah berbahasa formal. Namun baginya itu tidak keren dan profesional, sehingga bila Jev sudah kehilangan prinsip itu, itu artinya cowok dengan rambut cepak diseberang sana sedang marah.

The Day After April Come✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang