Isi Kepala yang Tampan----------------------------------------------------------------
.
Kampus adalah miniatur negara, aku kaum mayoritas yang menjadi kader organisasi raksasa di sana.
Politik memang tak selalu bersih, tapi jangan salahkan lembaganya. Oknumlah dalang dari semuanya.
Pernah ketika panas-panasnya kampanye parpolma, kita berdebat hebat soal pansosisasi dan caperisasi.
The power of orang-orang dalam yang menjadi rahasia umum polarisasi perekrutan kepengurusan membuatmu muak dan memilih apatis.
Aku dengan sinis menyerang tindakanmu, kau mengambil samurai pemikiran yang berketerbalikan. Ahh senjata makan tuan.Kau cerdik bukan main,
Dengan telak emosiku meledak tak main-main.
Katamu aku terlalu polos, sehingga menutup mata dengan banyak hal cringe yang bertebaran dimana-mana.
Kau menuding beberapa oknum yang sok agamis dan pancasilais, padahal wawasannya minimalis.
Cara berpikirmu terlalu liar untukku yang baru keluar dari jeruji suci pesantrenisasi.Mengenalmu menuntutku untuk open minded, berdebat denganmu menuntaskan dahaga keingintahuan.
Kulantik kau menjadi suhu pemahaman, meski tetap saja harus kufilter berulang-ulang.Kita terlahir dari latar belakang yang berbeda. Sehingga membaca rumus hidup dengan berbeda pula.
Kau adalah apa yang aku amati, sedangkan aku adalah apa yang kau bodo-amati.Ketika kupikir aku telah berhasil menjadi salah satu orang pentingmu.
Kau banting setir mematahkan persepsi itu.
Tiba-tiba kau beku, hangatmu memudar seiring berjalannya waktu.Tapi sekali lagi semesta seolah tak memberi celah untuk kita terpisah.
Kita dipersatukan dalam kepanitiaan pelantikan.
Meski begitu, aku mendeteksi ke-sungkananmu berinteraksi denganku.Dengan sedikit menurunkan gengsi, aku meminta konfirmasi.
Akan sinyal kontradiksi pada hati, kau membenarkan tanpa pikir panjang, mengguncang ekspetasi dengan lancang.
Lagi-lagi patah sudah, segala ingin.Satu manusia yang tau soal apa yang menimpa; manusia sunda dengan segala jenakanya.
Dengan segenap ketikan yang kutegarkan aku mengungkapkan, "Bre, tolong nanti untuk persiapan pelantikan jangan campur adukan tugasku dengan tugasnya. "
Dengan segenap keterpaksaan yang kutaksir menyimpan kapasitas belas kasihan, akhirnya di Iya-kan.Malam itu, kualihkan luka dengan menyibukkan diri berbincang sana sini dengan si manusia sunda jenaka.
Bukan maksud menjadikan dia pelampiasan, bukan.
Kita sepasang sahabat yang memiliki objek bucin masing-masing.
Kebetulan kita punya satu deadline yang sama, dengan tema yang serupa.
Bukan lagi asmara sumber bahagia, dunia pers dengan segala kegiatannya adalah sebaik-baiknya pengalih rasa.Baiklah, sampai sini saja.
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Denyut Jari
PoetryKetika jantung berdetak, segenap kata tercetak. Ketika kepala mulai mengalirkan resah, jari-jari spontanitas melakukan upaya abadi. Segenap kalimat ini untuk aku, di masa depan. Apakah masih berpijak pada garis yang sama, atau telah bergerak masif...