Sebetulnya, Aku pun tak tahu harus menuliskan apa, di tengah kejenuhan yang membabi buta.Katanya, kalau sedang dilanda kejenuhan yang menikam ide dan gagasan, traveling adalah solusi paling mutakhir yang dianjurkan.
Sayangnya, Aku, masihlah terikat oleh peraturan asrama yang membuatku tak bisa ke mana-mana.
Tapi gapapa, menjadi dewasa merupakan peperangan besar dalam melawan mood yang tidak baik, prokastinasi berkepanjangan, dan overthingking yang tidak akan pernah selesai.
Entah lah, rasa-rasanya, Aku menjadi begitu muak dengan yang namanya motivasi dari eksternal diri. Di tengah kegabutan yang kian merasuki stadium akhir selama liburan semester.
Kali ini, Aku tidak ingin mengeluhkan soal PPL, melainkan soal pembisnis omong kosong, yang laris sekali di media.
Omongan motivasi? Sepertinya terlalu songong, jika Aku mengatakan bahwa Aku tak pernah mempercayainya. Tapi, sedari dulu, kegemaranku kan begitu, mendobrak kebiasaan lama, berenang dalam arus yang berlawanan, meskipun harus mengeluarkan tenaga dua kali lipat dan megap-megap tidak karuan.
Mula-mulanya, Aku alergi dengan celotehan menggurui yang kebanyakan mengatakan ‘’jangan lah’’ , ‘’harus’’ , dan bla-bla-bla perkataan yang tidak cukup memvalidasikan cocologi realita.Dalam tulisan lain, Aku pernah menyebutkan alasannya. Jadi tak perlu dijelaskan lagi pada paragraf ini.
Kemudian, omongan motivasi kadang kala hanya meniupkan sumbu gairah hidup sementara, ungkapan-ungkapan retoris yang sebetulnya tidak deep maknanya, namun menjual keindahan kata-kata sehingga terdengar ajaib dan dapat memulihkan keadaan jiwa.
Padahal, kita tak perlu membayar mahal orang, untuk berbicara motivasi, boleh jadi,orang yang bicara pun, sukar untuk menerapkan apa yang sedang ia perbincangkan.
Sudah menjadi rahasia umum bukan? Bertindak tidak semudah berucap.
Aku pun, bisa menceritakan tentang bagaimana caranya memanagement waktu, meskipun ternyata agendaku kacau balau, dan pola tidur antah berantah.Sebetulnya, memang tidak sedikit yang sepakat dengan dogma ‘’undzur ma qoola wa tandzur man qoola.’’ Lihatlah perkataannya, jangan lihat orangnya.
Tetapi, ungkapan ini juga perlu melihat konteks.
Tentu saja dogma tersebut tidak cocok dengan konteks jurnalisme, sebab mencari narasumber yang tepat akan melahirkan kualitas berita yang baik.Jadi, melihat siapa yang mengatakan, apakah itu bualan atau kenyataan? benar-benar direalisasikan atau sekadar pencitraan? juga penting.
Nah, sebetulnya, motivasi tuh apa sih?
Secara fundamental, motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.
Tentu saja, setiap manusia bisa berbeda-beda cara, untuk meraih motivasinya masing-masing. Sebab pribadi manusia terbentuk dalam latar belakang yang beragam, sehingga segala perkara tidak bisa disamaratakan.
Dari sini, sudah kelihatan kan? Kenapa Aku tidak suka kata-kata yang terlalu banyak ‘’Jangan’’ dan ‘’Harus’’? karena di dalamnya terdapat penghakiman yang tidak merata.
Teruntuk para sultan yang gemar mengikuti seminar motivasi dengan karcis yang tidak murah, silahkan saja, itu hakmu. Yang jelas, kalo ada cara yang lebih gratis, kenapa harus bayar?
Dengan kata lain, Aku justru lebih merekomendasikan Devan, demotivator terpercaya. Sebab segala yang ia celotehkan sangat lah jujur meskipun terdengar menyakitkan.
Ungkapan-ungkapannya selalu tepat sasaran, sesuai dengan realitas yang bergulir secara brengsek dan tidak beraturan.
Menariknya, dengan kita memiliki self awarness bahwa cara hidup bekerja tidak lah menghadirkan segala hal yang kita inginkan. Kita jadi lebih menyiapkan mental dan rencana. Tidak ternina bobokan bualan kata ‘’Semua akan baik-baik saja, pada waktunya.’’
Tetapi, ‘’Semua memang lah tidak baik-baik saja, dan mari upayakan agar membaik.’’
Demotivator menampar kita dengan kekejaman, kepahitan, kekecewaan, dan ketidak sesuaian ekspetasi dengan kenyataan. Dari sini, kita bisa membaca situasi dengan baik, menganalisis secara akurat, serta memerdekakan diri dari harapan-harapan yang berujung berkhianat.
Sehingga, fokus kita, bisa lebih dioptimalkan dalam upaya-upaya-dan upaya.
Maka jika hasilnya telah berbuah secara setimpal, ketika ternyata berhasil, bahagianya double kill, sebab kita tidak mengekspetasikan keberhasilan.
Dan, jika hasilnya gagal, maka mental lebih siap dalam menelan keadaan, lebih amor fati, dan kembali mempersiapkan strategi selanjutnya, untuk menaklukan keinginan.Baiklah, kau boleh sepakat, boleh tidak. Sebab perspektif, adalah soal selera.
Purwokerto, 21 Januari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Denyut Jari
PoetryKetika jantung berdetak, segenap kata tercetak. Ketika kepala mulai mengalirkan resah, jari-jari spontanitas melakukan upaya abadi. Segenap kalimat ini untuk aku, di masa depan. Apakah masih berpijak pada garis yang sama, atau telah bergerak masif...