Bahasa manusia terlalu terbatas untuk nano-nano rasa yang sebetulnya tak terbatas. Ekspresi manusia tidak cukup beragam untuk menggambarkan realitas yang terkadang cenderung memburam.Warna bahkan tidak selamanya mempresentasikan kenyataan bagi Dyschromatopsia apalagi Achromatopsia, kesimpulannya dunia ini penuh tipu daya dan dusta.
Konon, untuk bisa berkuasa kita perlu mempelajari seni mendustai, strategi mempengaruhi, dan membunuh rasa empati.
Meskipun aku tidak akan pernah sudi untuk sepakat pada steatmen tersebut, tidak peduli seberapa keras aku membantah, seberapa sering aku berkilah, realitas punya kenyataan yang tak bisa dengan membalikan kedua tangan segalanya akan mudah ditaklukan.Kenyataan adalah sebuah tamparan yang akan terus menerus mengejar sekalipun terus berlari, kenyataan adalah hantu kebal tembok yang bisa menembus sekat keidealismean siapapun, kenyataan adalah bias dari ekspetasi indah yang di framing angel manusia, dan inilah medan pertempuran sesungguhnya.
Kita semua adalah panglima perang dalam medan masing-masing.
Tak peduli seberapa jiwa telah tumbang, seberapa luka bergelimangan, seberapa ricuh situasi mengkeruh, panglima tetaplah tokoh utama yang menentukan kalah-menang sebuah perkara dipertaruhkan.Apakah panglima yang bijak hanya akan menangis sesenggukan di atas kuda putihnya?
Sementara jika hanya meratap, akan lebih banyak pengorbanan yang berjatuhan,
Jika hanya menyaksikan, pertempuran akan semakin panjang,
Jika hanya menghindar dari pedang-pedang, pasukan akan semakin kewalahan menyerang,Aku, adalah panglima perempuan yang telah dua puluh tahun berada pada medan stigma.
Ada sekian kriteria musuh yang sulit sirna, yakni beberapa di antaranya adalah yang telah melekat dengan konstruksi sosial dan membudaya.
Musuh-musuh itu menyusupkan shuriken lewat kata-kata.
Menuntut perempuan untuk selalu tampil sempurna
Menjajah tubuh perempuan dengan sekian peluru sexismenya
Menganggap perempuan sebagai pihak kedua
Dan bukan seutuhnya manusia
Selamanya peperangan tidak benar-benar mereda
Dan aku jatuh cinta pada putra mahkota
Kerajaan patriarki
yang kekuasaannya menjelajah sekian wilayah-wilayah primitifKami berperang argumen
Saling menyerang mental satu sama lain
Saling melempar pola pikir
Bertengkar dialektika
Beradu tekad, untuk tidak menyerah satu sama lainAku menyelami karakternya
Mencari-cari kelemahannya
Membaca peluang untuk mengalahkannya
Hingga mengatur strategi demi melihatnya tunggang langgang
Mengakui kejayaan gender equalityNamun, bukannya mengalah, dia justru memenangkan hatiku
Merampas sisi rasionalitasku
Dan aku tumbang tertebas tatapan strategisnya
Aku tertawan oleh setiap laku
Setiap diksi ambigu
Setiap virus harapan palsu
Yang kuwanti-wanti kelak berhasil membunuh kerinduankuKerinduanku pada kemerdekaan
Pada kebebasan
Pada ketidak-terikatan peraturan
Pada belenggu rasa yang membudakanAsmaraloka adalah sebuah istana yang semu
Di dalamnya menawarkan kebersediaan dua belah pihak
Yang saling melontar kasih dan menerima sayangSementara potensi runtuhnya istana,
Datang serandom bagaimana ia dibangunSekali hantaman penghianatan,
Tiada satu tiang pun yang kokoh menyanggah keruntuhan tersebut.
Sementara ketika dibangun kembali,
Tidak ada satu bentuk pun yang tercipta secara utuhAku, belum menang sampai hari ini
Bahkan untuk sekedar memenangkan penafsiran sikap
Peperanganku adalah membunuh harapku sendiriPurwokerto, 21 November 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Denyut Jari
PoetryKetika jantung berdetak, segenap kata tercetak. Ketika kepala mulai mengalirkan resah, jari-jari spontanitas melakukan upaya abadi. Segenap kalimat ini untuk aku, di masa depan. Apakah masih berpijak pada garis yang sama, atau telah bergerak masif...