Catatan 17

33 3 0
                                    

Dear Endless Love

Hai, apa kabar?
Sebuah sapaan yang tidak pernah bosan dipertanyakan setiap saat. Tidak peduli seberapa sering intensitas kita jumpa, tidak peduli seberapa sering rindu menggelora dalam diam nestapa, memastikanmu baik-baik saja adalah agenda paling menyenangkan sepanjang sepi menjerumuskan pada bayang-bayang perpisahan.

Hai, jika hatimu bukan lagi hakku mengambilnya, maka paling tidak ambilkan pemikiran-pemikiranmu sebagai kontribusi kenangan untuk kusimpan sepanjang aku mencintaimu.

Sampai aku lupa bagaimana menakar harap dengan baik, sampai segala timbal balik bukan lagi target dan alasan memperlakukanmu dengan baik. Sejauh itulah aku masih belum menyatakan lelah memperhatikanmu dalam titik yang tidak kubiarkan kau analisa.

Persoalan sebetulnya bukanlah perihal gengsi, melainkan sebuah upaya untuk menakar seberapa mampu sebuah rasa menjadi tangan yang menutup telinga logika. Seberapa berdaya rasa membungkam keinginan-keinginan ego keuntungan pribadi, mencintaimu adalah seni mengendalikan diri.

Apakah aku sedang menyiksa diri sendiri?
Bahkan dalam keadaan berduka sekalipun, melihatmu progresif selayaknya manusia berkemajuan dengan personal branding yang selangkah lebih mengagumkan dari kebanyakan manusia lain membuatku sembuh sendiri.

Hai, masih ingat kacamata biru yang senantiasa bertengger cantik di depan mataku setiap kali aku hanyut menggeluti naskah-naskahku?
Sebuah upaya menangkal radiasi, pemberianmu.
Mungkin, aku memang tidak pernah memperlihatkan seberapa sering aku memakainya. Tapi benda ini benar-benar bermanfaat, perhatianmu abadi dalam kacamata ini.
Setiap kali aku membuka mata, membaca realitas dunia. Aku melihatmu turut andil di dalamnya.
Pada setiap riset yang kulakukan di media, pada setiap tulisan yang kuracik di dapur redaksi sunyi.
Kau memberi keamanan terselubung agar mataku mengaktualisasikan fungsinya.
Bagiku, ini lebih dari sekedar benda mungil tanpa makna.

Hai, jangan lupa istirahat.
Kamu kira, apa maksud dariku yang rajin mengataimu gila jabatan?
Tentu agar kamu tidak lupa bahwa kamu masih manusia. Bukan robot perealisasi proker. Bukan pula mesin konseptor yang tidak memiliki rasa lelah dan sakit.
Agar alam warasmu sebagai kendali untuk tidak terlalu memaksakan diri tercipta. Agar kamu tidak terjebak simulasi hustle cultere. Kamu masih mahasiswa, masih pejabat kampus belum sungguhan. Masihlah birokrat miniatur negara.

Semoga kamu paham, alasan mengapa aku mendeklarasikan diri menjadi pihak oposisimu.
Tidak serta merta karena aku menganggapmu rival, tidak serta merta karena aku memiliki dendam kusumat perpolitikan, tidak.

Kita partner bukan? Dan selamanya begitu. Kesepakatan kita.

Haii, kamu. Sayapku.
Ini aku, sayapmu.
Kita telah saling mendeklarasikan diri untuk bisa terbang bersama,bukan?
Terlepas dari apapun status hubungan, kita telah berjanji untuk tidak menyerah dalam menggapai kesuksesan. Atas nama naruto, aku tidak akan menarik kata-kataku.

Terima kasih, tidak pernah pergi. Masih melibatkanku dalam berbagai situasi. Takdir memang selalu menang, dan bila harap hanya berpotensi menyakitkan maka mulai saat ini dan seterusnya selagi aku belum bertemu jodohku, aku ingin menikmati setiap peralihan waktu bersamamu.

Haii Si Gila Jabatan.
Selamat,
Hari ini, aku masih mencoba mengeja Selamat.
Apakah akan berakhir menjadi selamat tinggal betulan atau tidak pintalan skenario Tuhan tidak pernah ada celah untuk menebaknya.

Maka dengan ini, aku tidak ingin menjadi manusia yang sibuk merencanakan masa depan sampai lupa untuk hidup di masa ini.

Aku percaya, orang yang tepat kelak akan datang.
Ia akan menghapus rasaku padamu. Menghapus harap-cemasku padamu.
Begitu pula kamu.
Aku akan terhapus dari memorimu.
Lalu kita hidup masing-masing dengan bahagia.

Dan segala kisah kita, barangkali hanya sebatas pijakan anak tangga untuk menapak pada tingkat dewasa selanjutnya. Tangga-tangga fase, tangga-tangga proses, tangga yang membijakan kita berdua.

Aku tidak pernah menyesal, perihal komitmen kita yang telah usai atau perihal persahabatan kita yang tidak akan pernah selesai. Padamu aku membaca banyak hal. Tentang profesionalitas, tentang manajemen konflik, tentang manajemen rasa, manajemen emosi, tentang naluri kemanusiaan, tentang menjadi manusia dan propaganda kepentingannya, tentang banyak hal.

Berjanjilah untuk menjadi insan ulul albab. Bila ikatan sakral seperti pernikahan tidak pernah mengikat kita untuk menjadi partner hidup selamanya setidaknya kita pernah dua kali terbaiat bersama dalam mapaba dan pkd, kita telah menjadi partner berdara biru tulang kuning selamanya.

Bagaimanapun ending kisah ini nanti, semoga kita bisa lapang dada menerima selayaknya penganut stoikisme pada umumnya.

Denyut JariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang