Kebodohan kesekian dalam kepahitan percintaan
26 Oktober 2021
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
setelah sekian purnama hanyut dalam berbagai agenda, hampir aku lupa mendenyutkan jari dalam tulisan ini. sepanjang itu juga, baru aku menyadari bahwa patah hati adalah proses creativeku dalam meracik aksara.
aku pernah bercerita soal sosok baru yang berhasil mendobrak hati setelah kuikrarkan bahwa tidak akan ada lagi panah asmara yang mampu membidikku lagi,bukan?
sial, aku menghianati tekadku sendiri.
beberapa masa yang lalu, aku terkelabui kembali atas dasar cinta yang konon tumbuh diantara kita berdua. aku mencintai seseorang dengan segala dramanya. aku mencintai seseorang dengan segala luka lamanya.
lalu kami memutuskan untuk membangun segala komitmen, dan aku seperti biasanya jarang sekali menulis ketika bahagia. Sehingga jejak aksaraku selalu perihal pilu.
sepanjang tempo aku masih menjaga komitmen bersamanya, segala manusia yang menawarkan keseriusan yang sama kuabaikan atas nama menjaga perasaannya. Aku menjadi manusia yang rela terluka asal melihat senyum bahagia terbit dibibirnya. Kukira, Cinta adalah bahagia dan terluka dalam satu paket. Tidak bisa diambil satu-satu. Ternyata cinta adalah ketika seseorang dengan tanpa diminta senantiasa mengupayakan proses bahagia untuk objek cintanya.
Aku sering menangis karena ulahnya, meskipun pada akhirnya ia juga lah yang menjadi alasanku untuk tertawa. Masa itu begitu indah. Dalam keadaan tersulit mempertahankannya, aku menyimpan kedunguan dan percaya pada kalimat yang pernah ia katakan. Tentang filosofi Cinta dalam sebuah kisah ranting. Ia mendongengkan tentang sosok yang diberi pilihan untuk mengambil satu ranting paling indah dalam sabana luas, dengan satu catatan tidak boleh mundur kebelakang. Sosok itu hanya boleh berjalan ke depan mencari rantingnya, sampai suatu ketika sosok itu menemukan ranting paling indah. Naasnya, sosok itu berpikir bahwa masih ada ranting lain yang lebih indah dari ranting yang ia genggam. Hingga sampai pada ujung final dalam sabana itu, ternyata sosok itu tak menemukan ranting yang seindah ranting yang pernah ia genggam namun ia lepas.
Begitulah cinta, apa yang kita miliki boleh jadi adalah ranting paling indah itu.
Sedangkan sifat manusia tidak pernah puas, ia akan mencari ranting lain atau cinta lain yang lebih sempurna padahal itu hanyalah semu semata. mencari kesempurnaan hanyalah perjalanan menempuh kesepian.
kita masih manusia, ada dua hal satu paket yang tidak bisa dipungkiri.
kekurangan dan kelebihan.
Mengingat itu, aku memilih setia untuknya.
Setia itu, bukan soal hati yang stabil tetap menginginkannya. Kita masih manusia, seringkali terbesit niatan untuk menghianati apa yang selama ini kita jaga. Kadangkala hati diuji oleh sebuah jenuh, diuji oleh sosok baru yang menawarkan kebahagiaan lebih dan lain sebagainya.
Setia itu adalah ketika hati mengupayakan stabilitas rasa cinta dan terus memupuknya kemudian menjaganya dari hama-hama yang berpotensi merusak.
Kukira ia memiliki pemikiran yang sama perihal itu, ternyata semesta sedang melucu.
Ia seperti orang sebelumnya, memeluk untuk menusuk.
Rasa ini menjadi membusuk.
Hati remuk.
Tak berbentuk.
Atas nama kelabilan ia melepas apa yang selama ini terniat kita bangun.
Ia telah memecahkan kaca, untuk kemudian dengan entengnya meminta maaf seperti tidak melakukan apa-apa. Ia meminta maaf pada kaca yang telah binasa.
Ia mentertawakan kelabilannya.
Ia membanting kaca hingga retak, lalu menyuruh kaca itu memakluminya.
Dan hatiku adalah kaca retak yang tak berdaya, tersisa serpihan hingga takdir bersedia memungutnya untuk ditempatkan pada titik dimana kembali menjadi berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denyut Jari
PoetryKetika jantung berdetak, segenap kata tercetak. Ketika kepala mulai mengalirkan resah, jari-jari spontanitas melakukan upaya abadi. Segenap kalimat ini untuk aku, di masa depan. Apakah masih berpijak pada garis yang sama, atau telah bergerak masif...