Sebuah paragraf yang kelak ingin kubacakan di hadapanmu.
______________________________________
Sebelum abjad ini kurangkai, aku telah membacakan naskah catatan tujuh belas dihadapan lebih dari tujuh belas kepala. Mereka tidak tau siapa yang sedang kubicarakan, memang begitu harapku. Ingin kuperlihatkan seberapa bersahajanya jiwa menghadapi mahaluka goresanmu. Betapa indah sayatannya sehingga air matapun sungkan mengalir di celahnya.
Aku telah khatam berenang dalam lautan stoisisme, berharap setelahnya aku menjadi lupa daratan kasihmu. Amor Fati terhadap tragedi tentang kita, yang sampai saat ini belum habis episodenya.
Boleh jadi, episode telah usai. Tapi kebetulan kita dipertemukan pada skenario yang berbeda. Bukan dua peran utama yang saling menemukan titik temu, tapi figuran pemeriah atau hanya secuplik plotwist pengantar kejutan untuk sang tokoh utama.
Rantai peristiwa yang terkait sedemikian rupa ini, akan selalu berharga. Bahkan jika tidak menemu akhir yang bahagia sekalipun.
Aku berterima kasih pada seneca yang memperkenalkanku pada teori penderitaan sebab imajinasi yang lain dari realita, meskipun aku kurang sepakat karena pedih dari hal imajiner membuatku selangkah lebih akrab dengan aksara.
Aku juga berterima kasih pada bayang-bayangmu yang senantiasa mendorong naluri kepada pembuktian-pembuktian sehingga tidak membiarkan waktuku terbuang percuma atas kegalauan.
Pada dasarnya, aku hanya ingin menyampaikan bahwa hatiku kelabu. Dan detik ini, aku baru menyadari, justru di situlah letak seninya. Mahaluka abstrak dengan harga tak ternilai.
Kelak, jika paragraf ini telah sampai padamu.
Kuharap, tiada tangan karma yang menggapaimu dengan dendam senja itu.Banyumas, 22 Juli 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Denyut Jari
PoetryKetika jantung berdetak, segenap kata tercetak. Ketika kepala mulai mengalirkan resah, jari-jari spontanitas melakukan upaya abadi. Segenap kalimat ini untuk aku, di masa depan. Apakah masih berpijak pada garis yang sama, atau telah bergerak masif...