Catatan 15

24 3 0
                                    


Sebuah ketakutan yang menghantui sepanjang malam

______________________________________


Tahun kedua perkuliahan kupikir akan berjalan seperti yang tertayangkan dalam berbagai sinetron menina bobokan. Ternyata realita tidak seindah ftv, ketika tokoh protagonis dengan mudahnya menemukan cintanya. Bertabrakan di lorong kampus, saling caci, kemudian jatuh hati.

Atau yang lebih mainstream cinta pandangan pertama, salah tingkah, lalu jantung berdebar dan saling punya rasa.

Hidup tidak sesederhana durasi film fiktif.

Kehidupan perkuliahan sesungguhnya tidak sekedar pulang kuliah, nongkrong, foya-foya, jalan-jalan ke mall, pacaran, dan segala hal bulshit di tv lainnya.
Ada momentum di mana tugas bergelimangan seperti gudang harta sultan, barangkali jika kita mampu menuntaskan seluruhnya secara efisien kita memang bisa menjadi kaya. Iya, kaya pemikiran.

Tetapi kenyataannya, makin kemari ada beberapa hal yang mendistraksi isi kepala. Sehingga menjadi mahasiswa tidak sesederhana menyimak materi dosen, presentasi, mengumpulkan tugas, dan ujian semata. 

Amanah agen of change, amanah ghiroh berorganisasi, persoalan memenejemen waktu yang makin tak karuan cukup menyenggol kesehatan mental.
Sehingga skala prioritas makin kemari makin geser makna.
Lalu muncullah sebuah pertanyaan, sebetulnya apa yang sedang kulakukan ini? Apakah Aku telah menyimpang dari tujuan awal?
Atau aku telah tersesat di jalan yang benar?

Overthingking.

Dulu Aku begitu membenci politik, ternyata makin kemari Aku makin hanyut di dalamnya. Lalu berbagai permasalahan bermunculan, membuatku merasa terjebak toxic produktivity. Kadangkala tubuh butuh istirahat, tetapi berbagai agenda rapat seperti hujan membasahi bumi. Dan tanpa mendeteksi cuaca Aku menjadi basah karenanya.

Sebetulnya apa yang kucari? Sebuah relasi?

Loh? Bukankah Aku adalah manusia penerap setting bounderist? Sunyi adalah singgasanaku bukan?
Tetapi kelak, gelarku adalah sarjana sosial, dengan kata lain bersosial adalah makananku.
Dilain sisi, ramai tetaplah tidak pernah membuatku nyaman.
Dan Aku perlu memakai topeng sepanjang itu, sampai energi benar-benar terkuras habis lalu butuh sekian menit untuk menangis.

Capek.

Sekarang apa? Prokastinasi menggerogoti jiwa.
Tugas kuliah dinomor duakan, organisasi menjadi selangkah punya privilage untuk disegerakan.

Apakah tindakanku ini telah benar untuk kapasitas seorang Aku? Si pembelajar seumur hidup.

Memang, berorganisasi juga belajar di luar teoritik.
Tetapi dengan segala pemaksaan diri, apakah itu masih dikatakan wajar?

Sepanjang malam, Aku seperti berlomba-lomba untuk menyibukan diri dengan dalih produktif. Selalu merasa bersalah, merasa tertinggal dengan yang lain.
Padahal boleh jadi, kita sedang tidak bercepat-cepat selesai tujuan, boleh jadi bahkan apa yang menjadi perbandingan kecepatan tersebut ternyata beda tujuan.

Hantu menakutkan makin gencar menyambang isi kepala setiap malam.

Apakah Aku sedang terjebak hustle cultere?
Apakah Aku telah bahagia dengan serangkaian-serangkain kegiatan itu?
Atau jangan-jangan Aku hanya sedang berusaha menyenangkan orang lain sehingga lupa soal kesenangan diri sendiri?
Sekarang kapan terakhir kali kamu bisa bebas merdeka membaca novel sepuasnya, menulis sepuasnya tanpa merasa bersalah telah mentelantarkan tugas-tugas organisasi?
Wah-wah jangan-jangan malah Aku tidak sadar bahwa Aku sedang merobotkan diri sendiri? Robot perealisasi proker.

Tidak

Seharusnya Aku tidak perlu merasa bersalah jika sepanjang malam harus melupakan proker sejenak demi literasi, bukan?
Salahku adalah merasakan perasaan-perasaan yang tidak perlu.
Ketakutan pada sesuatu yang mungkin boleh jadi tidak akan pernah terjadi. Atau mungkin terjadi tetapi tidaklah mengerikan.
Takut menua, takut mati, takut kehilangan masa emas yakni masa muda, takut kelak disiksa rindu sebab ingin kembali ke masa ini, takut diperbudak perkara domestik, takut menikah dan patah hati, takut tidak harmonis dengan mertua, takut tidak punya teman, takut dikucilkan society, takut tertinggal progresif, takut tidak lagi menjadi sosok idealis, takut segala agenda kacau, takut jabatan sebab merasa tidak punya jiwa pemimpin, takut pada oligarki, takut terjerumus politik praktis, takut dijatuhkan secara personal, takut prematur, takut tidak dicintai, takut dikhianati, dan berbagai ketakutan rutin yang terumuskan sepanjang overthingking.

Tuhan, tolong. HambaMu, ingin berubah.
Hidup damai dengan pola hidup normal, berdamai dengan segala stigma.
Dan mampu melewati segala tuntutan dengan baik.

Aku cuma ingin didengarkan, itu saja.

Denyut JariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang