Lelah yang tak sanggup kukeluhkan kepada telinga yang tepat untuk mendengarkan
Watumas, 10 September 2022
_______________________________________
Kupikir menjadi mahasiswa adalah fase paling menakjubkan sepanjang perjalanan berproses, fase di mana kebebasan yang kuimpikan menjelma dalam realita, setelah melewati episode hidup yang gulita.
Ternyata kebebasan menimbulkan persolan baru.
Persoalan oknum-oknum yang lepas tangan, lari dari tanggung jawab atas nama kebebasan.Lalu, muncullah sebuah awarness baru dalam kepala, bahwasanya kebebasan yang bebas tetaplah tidak bebas. Sebebas-bebasnya manusia dalam kebebasan itu sendiri tetaplah harus dalam rute-rute yang tidak merugikan manusia lain.
Kebebasan yang dipertanggung jawabkan.
Dengan kata lain, manusia semerdeka apapun tetaplah terikat dengan suatu aturan. Minimal aturan untuk tidak melanggar hak asasi dari orang lain.
Aku ingin bercerita, bahwasanya aku butuh mengeluh.
Mengeluh adalah hakku sebagai manusia yang bercelah merasakan lelah.
Mengeluh adalah bagian dari kebebasan berekspresi sebagai bentuk responsisasi atas segala tantangan yang telah terlewati.Namun, mengeluh punya etika.
Mengeluh harus pada tempatnya, pada telinga yang tepat.
Pada manusia yang dalam keadaan tidak penat.
Pada manusia yang mampu memvalidasikan perasaan dengan baik.
Pada manusia yang open minded dan memiliki kesadaran pemakluman yang bijak.
Pada manusia yang segan membanding-bandingkan.
Pada manusia yang bisa menyimpan mulutnya rapat-rapat.
Pada manusia yang paham makna privasi, nan tidak menghakimi seenak hati.Lantas, masihkah ada telinga yang tulus untuk mendengar?
Tanpa memberi opini pelabelan tak manusiawi.
Tanpa membungkam dengan nasehat-nasehat sebelum tuntas keluh ini terungkapkan.Duhai telinga yang kudamba.
Lekas temuilah aku.
Pada malam ini, kujeda keluhku.
Pada langit-langit hampa.
Tanpa rembulan cantik yang cahayanya terbiasa jadi saksi terciptanya air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denyut Jari
PoetryKetika jantung berdetak, segenap kata tercetak. Ketika kepala mulai mengalirkan resah, jari-jari spontanitas melakukan upaya abadi. Segenap kalimat ini untuk aku, di masa depan. Apakah masih berpijak pada garis yang sama, atau telah bergerak masif...