Atas nama kekecewaan, hidup tetaplah egois bergerak tanpa peduli sebergerak apa masalah melaju ke arahmu.
______________________________________
Manusia kadangkala memang semuluk-muluk itu dalam merancang sesuatu, tanpa mempertimbangkan kemampuan dan time line demi time line yang tak teranalisa.
Manusia pada dasarnya gemar antusias diawal cerita, lalu tumbang dipertengahan, nan kerap enggan melanjutkan episode perjuangan sampai selesai.Manusia adalah sumber kekecewaan bagi manusia lain.
Dengan lidah tak bertulang, ‘’lemes’’ saja meluncurkan segala jumawanya.
Umbar segala rekaan-rekaan rencana, tanpa terpikir sistematika untuk menuju ke arahnya.Manusia kadangkala adalah pembanding ulung yang culas.
Gemar sekali menakar kadar kapasitas manusia lain, tanpa menimbang proses yang berbeda-beda dari setiap kepala.Manusia adalah sumber iri dengki bagi manusia lain.
Dengan pita suara yang melengking, ia flexing.
Segala pencapaian-pencapaian yang telah diraihnya adalah sebuah bentuk narasi bicara yang tidak akan ada habisnya.Tersinggung?
Ketersinggungan menunjukan sensitivitas manusia bukanlah sebuah mitos belaka.
Dan titik sensitif manusia berbeda-beda, menyesuaikan latar belakang dan peristiwa demi peristiwa yang pernah dilaluinya.Yeah, aku lelah menjadi manusia.
Lelah memiliki sisi tidak tegaan yang justru menimbulkan sebuah tega pada diri sendiri.Tega membiarkan diri mengetik straight news sampai pagi,
Padahal yang menjadi hobi adalah ranah sastrawi.
Kemudian tega mendahulukan empati terhadap manusia lain,
Sampai rela straight newsku teronggok sia-sia sampai basi.Begitulah, yang kumaksud mengenai keberbedaan titik sensitivitas manusia.
Buah tanganku adalah malika tinta hitam yang dipetik dengan sepenuh hati,
Kurawat dengan baik seperti anak sendiri.
Lalu bilamana cara ia lahir terpinggirkan dan tak diberi wadah yang pasti,
Menjadi tuna media yang terbuang mati,
Aku seperti Sangkuriyang yang menendang prahu Dayang Sumbi.Purwokerto, 15 September 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Denyut Jari
PoetryKetika jantung berdetak, segenap kata tercetak. Ketika kepala mulai mengalirkan resah, jari-jari spontanitas melakukan upaya abadi. Segenap kalimat ini untuk aku, di masa depan. Apakah masih berpijak pada garis yang sama, atau telah bergerak masif...