Sebatas de Javu yang hendak kubekukan
________________________________________
Semasa putih abu-abu, pernah ada satu oknum penghasud yang merasa pahlawan sebab tidak pernah pilih-pilih teman. Ia cenderung membersamai orang-orang yang dijauhi, cupu dalam pergaulan, dan jadi sasaran empuk pembullyan
Pengahud itu, konon bermaksud baik dan senantiasa mengulurkan tangan setiap kali si cupu membutuhkan.
Dengan ‘’empati’’ yang sedemikian rupa, penghasud rutin menceritakan bagaimana tidak berharganya si cupu, bagaimana ia menciptakan situasi rekaan yang seolah-olah society membenci umat cupu, dan hanya penghasud lah satu-satunya yang bersedia menjadi temannya.
Enam bulan berlalu, si cupu makin menjadi anti sosial, kehilangan positive vibes, konflik batin bermunculan, ditambah lagi harus bersedia menampung keluh kesah penghasud yang hampir menuju keputus asaan setiap hari.
Dunia cupu makin sempit, energinya terkuras habis, tapi tidak memiliki daya sumingkir untuk speak up terhadap pola yang membelenggunya. Bahkan memiliki self awarness terhadap kejanggalan yang ada pun tidak.
Sampai lulus pada akhirnya, terbentuklah pribadi cupu yang takut ramai dan rendah diri.
Hari-harinya dipenuhi ragu, takut terhadap tantangan, mudah menyerah, enggan mencoba hal baru, dan stagnan berkepanjangan.Tidak ada kenangan manis pada momentum putih abu-abu, tidak ada kerinduan yang memicu tangisan saat wisuda perpisahan, hanya hampa dan kesepian.
Dua tahun berselang, si cupu berpisah dengan penghasud yang toxic. Realita yang brengsek berhasil menempa si cupu sampai pada titik di mana ia memiliki kesadaran terhadap setting bounderis.
Dan si cupu itu, adalah aku hari ini.
Aku tidak akan memberikan clue apapun terkait penghasud problematik satu ini yang sekaligus menjadi satu di antara sekian faktor episode tergelap masa putih abu-abuku tercipta.
Pada paragraf ini aku tengah mencoba berdamai dengan segala kompleksitas momentum suram yang kerap menjelma mimpi buruk setiap malam.
Satu hal yang ingin kusampaikan, beberapa fakta masa lalu terkuak perlahan berangsur-angsur dari saksi ke saksi, menjadi bagian dari proses pendewasaan yang tidak mudah. Luka itu barangkali bisa disembuhkan oleh waktu, tapi tidak dengan bekas-bekasnya. Serpihan luka yang membekas bernama trauma, dan sekedar maaf tidak akan pernah lunas membayarkan mahalnya moment yang hanya terkisah satu masa dalam hidup.Teruntuk aku di masa depan, tolong menuli saja dari manusia-manusia yang hobi berbicara sekaligus membungkam.
Abaikan saja curhatan-curhatan tanpa feedback, karena obrolan yang sehat adalah dua arah dan saling mempertanyakan.
Bukan egosentris satu arah saja yang dominan harus didahulukan didengarkan, namun pihak lain diredam perasaannya untuk diungkapkan.Teruntuk aku di masa depan, mute saja manusia-manusia yang sering bersteatmen ‘’Lah kamu masih mending, daripada aku…,’’ ketika opening sesi curhat dimulai. Tidak ada satu manusiapun yang pantas untuk disepelekan validasi emosionalnya. Demi stabilitas mental yang sehat.
Teruntuk aku di masa depan, berhenti oversharing terhadap pendengar yang tidak pernah antusias menyimak, apalagi yang hanya bersteatmen ‘’wkwk’’ semata dalam merespon problema dan manivestasi rasa. Karena ia hanya kepo, bukan peduli.
Teruntuk aku di masa depan, bila kau temukan oknum-oknum pesimistis yang keras kepala terhadap ke-putus asa-annya, sembunyi saja.
Bukan karena tak punya empati, kadangkala kita perlu mengukur seberapa energi positive kita teralokasikan dengan baik, untuk kedamaian hidup yang lebih baik.Segala sesuatu, ada porsinya.
Setiap manusia punya masing-masing penatnyaPerkara ini, bukan lagi sesederhana ikhlas tidak ikhlas.
Pamrih tidak pamrih.
Perhitungan tidak perhitungan.Mengeluh yang terorganisir akan menciptakan suasana yang terorganisir.
Mengeluh pada pendengar yang tepat, akan menghasilkan keputusan yang tepat.Setting bounderris adalah seni memilah lingkungan yang ideal, tidak semua manusia harus disenangkan. Tidak semua caci maki harus didengarkan, nalar punya daya selektif yang harus dioptimalkan.
Narasi ini, hanya berlaku terhadap konteks tertentu.
Selamat malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denyut Jari
PoetryKetika jantung berdetak, segenap kata tercetak. Ketika kepala mulai mengalirkan resah, jari-jari spontanitas melakukan upaya abadi. Segenap kalimat ini untuk aku, di masa depan. Apakah masih berpijak pada garis yang sama, atau telah bergerak masif...